Unicorn - sebutan untuk perusahaan startup yang memiliki valuasi lebih dari satu miliar dolar AS - dulunya menjadi simbol kesuksesan luar biasa di dunia teknologi dan ekonomi. Dengan banyaknya unicorn Indonesia seperti Gojek, Bukalapak, dan Tokopedia, negara ini sempat menjadi salah satu pusat pertumbuhan startup terbesar di dunia.
Namun, situasi kini berubah drastis. Seiring dengan ketidakpastian ekonomi global, perusahaan-perusahaan unicorn ini mulai merasakan dampaknya. Valuasi yang terus menurun, pendanaan venture capital yang mengering, hingga masalah dalam mempertahankan model bisnis jangka panjang telah mengancam posisi mereka sebagai pemimpin pasar.
Ketika dulu unicorn Indonesia menjadi kebanggaan, kini mereka terjebak dalam dilema, menghadapi kenyataan bahwa status unicorn tidaklah menjamin kesuksesan abadi.
Salah satu penurunan terbesar yang terjadi di pasar adalah berkurangnya pendanaan dari venture capital, yang sebelumnya menjadi sumber utama bagi startup untuk bertumbuh dengan cepat.
Laporan The State of Unicorns and Venture Capital 2023 menunjukkan bahwa di tengah situasi pasar yang fluktuatif, banyak unicorn yang terpaksa melakukan down round atau bahkan menghentikan operasional mereka. Fenomena ini sangat relevan untuk unicorn Indonesia yang harus berjuang bertahan di tengah krisis ekonomi global. Pasar yang sebelumnya mendukung model pertumbuhan agresif kini justru memaksa mereka untuk beralih ke strategi yang lebih konservatif.
Namun, meskipun tantangan besar menghadang, pertanyaan yang muncul adalah: apakah unicorn Indonesia masih memiliki potensi untuk kembali bersinar, ataukah mereka hanya akan menjadi kenangan masa lalu yang indah, namun tak mampu bertahan di dunia yang terus berubah?
Evolusi Unicorn dan Tantangan yang Dihadapi
Unicorn yang berdiri kokoh di puncak pernah dipandang sebagai simbol keberhasilan dalam dunia startup. Dalam studi yang diterbitkan oleh NBER berjudul "What Accounts for the Proliferation of Billion Dollar Startups?", dijelaskan bagaimana seiring dengan pertumbuhan yang pesat, banyak unicorn yang menghadapi kesulitan dalam mengelola pengeluaran yang melebihi pendapatan. Hal ini tentu mengingatkan kita pada kondisi banyak unicorn Indonesia, yang seiring dengan perubahan ekonomi global, mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Setelah melewati tahap "rocket growth", unicorn-unicorn ini tidak hanya kesulitan mempertahankan laju pertumbuhannya, tetapi juga harus memikirkan kelangsungan jangka panjang di tengah pergeseran pasar.
Seperti yang disampaikan oleh Reid Hoffman, co-founder LinkedIn: "The challenge is not in starting something new, but in scaling it sustainably."
(Tantangan bukan terletak pada memulai sesuatu yang baru, tetapi dalam menskalakan secara berkelanjutan)
Perkembangan startup memang penuh harapan, tetapi jika tidak dikelola dengan bijak, ambisi untuk tumbuh bisa menjadi bumerang, seperti yang dialami oleh beberapa perusahaan unicorn di Indonesia. Mengandalkan investasi yang terus mengalir dan pertumbuhan agresif tanpa perencanaan yang matang bisa membuat banyak perusahaan terperangkap dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Fenomena penurunan pendanaan venture capital terhadap unicorn sudah banyak dibahas dalam artikel Venture Capital Market Trends and Unicorns. Berdasarkan data, banyak unicorn yang sebelumnya terbiasa mendapatkan suntikan dana besar harus berjuang dengan pengelolaan yang lebih ketat dan konservatif.
Hal ini tidak terlepas dari dampak dari kondisi ekonomi global yang tidak menentu, terutama pasca-pandemi dan lonjakan inflasi yang terjadi. Banyak unicorn Indonesia yang awalnya mengandalkan investasi besar untuk mendukung ekspansi, kini harus menyesuaikan diri dengan realitas baru.
Sebagai contoh, Gojek dan Bukalapak yang selama ini dikenal dengan pertumbuhannya yang agresif kini mulai lebih berhati-hati dalam membelanjakan dana mereka. Seperti yang dijelaskan dalam Navigate VC, startup yang dulu berkembang dengan model pertumbuhan tinggi kini beralih ke fokus pada efisiensi dan profitabilitas. Ini bukanlah hal yang mudah, apalagi ketika pasar cenderung memperlambat aliran pendanaan ke sektor teknologi.
"Success is not final, failure is not fatal: it is the courage to continue that counts." - Winston Churchill
(Kesuksesan bukanlah yang terakhir, kegagalan bukanlah yang fatal: yang terpenting adalah keberanian untuk melanjutkan.)
Bagaimana Unicorn Indonesia Berusaha Bertahan?
Saat unicorn Indonesia berjuang mempertahankan eksistensinya, mereka tak hanya berhadapan dengan fluktuasi pasar, tetapi juga harus beradaptasi dengan perubahan teknologi dan persaingan yang semakin ketat.Â
Banyak unicorn yang kini mencoba mengubah model bisnis mereka, dari sekadar ekspansi cepat menuju pencapaian profitabilitas yang lebih stabil. Bukalapak, yang sempat mengalami penurunan valuasi besar, kini berfokus pada optimalisasi platform e-commerce mereka dan lebih menekankan pada pasar lokal.
Mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan realitas bahwa "lebih besar" belum tentu lebih baik dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini. Menurut Thomas Edison, "Genius is one percent inspiration, ninety-nine percent perspiration." (Jenius adalah satu persen inspirasi, sembilan puluh sembilan persen keringat.) Sukses tidak hanya bergantung pada ide cemerlang, tetapi juga pada kerja keras dan ketahanan untuk bertahan dalam menghadapi tantangan.
Meski dalam situasi yang penuh tantangan, unicorn Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit kembali. Untuk itu, mereka harus fokus pada pengembangan model bisnis yang lebih berkelanjutan dan berbasis pada inovasi yang lebih terukur.Â
Selain itu, dengan bergantung pada teknologi baru seperti kecerdasan buatan dan blockchain, unicorn Indonesia dapat menemukan jalur baru untuk tumbuh dan berkembang.
Meskipun tantangan besar menghampiri, unicorn Indonesia tidak akan berhenti begitu saja. Mereka akan terus berjuang untuk beradaptasi dengan perubahan, namun hal ini membutuhkan waktu dan ketekunan.
Pasar yang sulit, ketidakpastian ekonomi, serta penurunan pendanaan, membuat mereka harus berpikir lebih jangka panjang. Unicorn Indonesia masih bisa mempertahankan keberadaannya asalkan mampu bertransformasi, mengelola pengeluaran dengan bijak, dan memanfaatkan teknologi sebagai alat utama untuk berinovasi.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB: Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H