Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Marah atau Tersentuh? Ketika Aksi Bagi-Bagi Sembako di Tengah Kemiskinan Terlihat Menyebalkan

5 November 2024   08:46 Diperbarui: 5 November 2024   08:53 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gibran Rakabuming membagi-bagikan susu dan sembako masyarakat miskin | Ilustrasi gambar: kompas.com / akhmad dhani

Aksi bagi-bagi sembako mungkin terlihat sebagai bentuk bantuan sederhana, tetapi bisa menjadi pisau bermata dua di tengah masyarakat yang kompleks. Ketika Wakil Presiden Gibran Rakabuming melakukan pembagian sembako gratis di Palangkaraya beberapa waktu lalu, peristiwa ini tak hanya menjadi ajang memberi bantuan, tetapi juga memicu perdebatan di ruang publik.

Bagi sebagian orang, aksi ini adalah gestur kebaikan di tengah kondisi ekonomi yang sulit. Namun, bagi yang lain, ini justru memicu rasa skeptis dan bahkan kemarahan.

Seiring dengan kerusuhan yang terjadi selama acara tersebut, banyak yang bertanya: apakah aksi seperti ini benar-benar solusi untuk masalah kemiskinan, atau justru menciptakan jarak emosional antara pemerintah dan masyarakat?

 "There are people in the world so hungry that God cannot appear to them except in the form of bread." -- Mahatma Gandhi 

(Ada orang-orang di dunia yang begitu lapar hingga Tuhan tidak bisa hadir bagi mereka kecuali dalam bentuk roti.)

Sembako dan Kemiskinan yang Membara di Ruang Publik

Aksi pembagian sembako di Palangkaraya membawa kita pada dilema yang telah lama berlangsung dalam budaya amal dan kemiskinan di Indonesia. Banyak warga yang melihat sembako sebagai sesuatu yang dibutuhkan, terutama dalam situasi ekonomi yang tak menentu.

Namun, banyak pula yang berpendapat bahwa ini hanya sebuah aksi simbolis yang tidak menyelesaikan akar dari masalah kemiskinan. Dari data Joseph Rowntree Foundation, kita tahu bahwa persepsi publik terhadap kemiskinan sering kali bercampur antara empati dan skeptisisme.

Sementara beberapa merasa tersentuh dengan aksi amal, ada pula yang merasa bahwa upaya ini kurang efektif dan lebih bersifat pamer, terutama karena tidak menawarkan solusi struktural jangka panjang.

Menariknya, studi ini juga menemukan bahwa liputan media cenderung melukiskan kemiskinan sebagai cerita pinggiran yang jarang dieksplorasi secara mendalam. Ketika kemiskinan hanya dianggap sebagai latar belakang, bantuan seperti sembako sering kali menjadi simbol yang menguatkan batas sosial. Alih-alih menumbuhkan solidaritas, ia justru memperdalam jarak antara mereka yang "memberi" dan mereka yang "menerima." Bagi sebagian masyarakat, sembako menjadi "roti untuk sesaat" yang memadamkan lapar tetapi tak menyentuh problem mendasar.

 

Politik Amal dan Respons Emosional Masyarakat

Fenomena "coerced giving" atau "pemberian yang dipaksakan" sering kali muncul dalam situasi pembagian sembako, terutama saat dilakukan secara mencolok oleh tokoh publik. Ini juga berlaku dalam aksi Gibran di Palangkaraya yang, menurut hemat sebagian orang, tampak seperti gestur politis ketimbang upaya murni membantu rakyat kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun