Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Paradoks Otomatisasi, Ketika "Hyper-Automation" Malah Menurunkan Produktivitas Bisnis

4 November 2024   05:52 Diperbarui: 4 November 2024   07:36 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era yang seharusnya mengutamakan efisiensi dan produktivitas, kita justru menemukan fenomena sebaliknya. Banyak perusahaan telah mengadopsi otomatisasi dengan harapan akan mengurangi biaya dan waktu kerja. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa "hyper-automation" - sebuah level otomatisasi yang jauh melampaui sekadar otomatisasi tradisional - dapat menjadi bumerang. Alih-alih meningkatkan produktivitas, hal ini justru menghambat kinerja global.

 

Sebagai contoh, laporan dari Bessen (2019) dan Autor & Salomons (2018) menunjukkan bahwa dampak otomatisasi terhadap produktivitas tidak selalu berbanding lurus. Apa yang seringkali terlupakan adalah bahwa otomatisasi besar-besaran dapat menimbulkan ketergantungan sistem yang kompleks, menciptakan masalah baru yang bahkan lebih sulit diatasi.

Dengan kata lain, ketika mesin diatur untuk menyelesaikan segalanya, kita justru membuka peluang untuk bottleneck yang lebih besar seperti masalah manajemen, peningkatan biaya perawatan, hingga kebergantungan pada teknologi yang sulit diintegrasikan.

Otomatisasi dalam Skala Luas

Ketika berbicara tentang otomatisasi, yang terbayang seringkali adalah penghematan besar dalam tenaga kerja. Di satu sisi, otomatisasi memang telah terbukti menggantikan tugas-tugas yang bersifat repetitif, mempercepat proses, dan mengurangi kesalahan manusia. Namun, menurut penelitian Autor dan Salomons (2018), otomatisasi juga memiliki efek yang tidak diharapkan, yakni memperlebar jarak antara apa yang disebut pekerjaan "berkualitas" dan "rendah kualitas."

Bayangkan situasi ini: Perusahaan raksasa menerapkan sistem otomatis yang mengatur inventaris secara real-time, memantau stok hingga ke detail terkecil. Awalnya, sistem ini tampak menjanjikan, tetapi beberapa bulan kemudian, masalah mulai muncul. Setiap detil perlu dikelola dengan begitu teliti hingga perusahaan tersebut harus menambah tim untuk memastikan sistem tetap berjalan. Apa yang terjadi? Alih-alih menghemat biaya, perusahaan malah mengeluarkan lebih banyak untuk tim kontrol dan pemeliharaan.

Tidak hanya itu, otomatisasi skala besar sering kali menciptakan ilusi produktivitas. Pekerjaan yang dulunya bisa dikelola dengan tenaga manusia sekarang membutuhkan lebih banyak keterlibatan digital.

Di balik layar, perusahaan harus terus memperbarui sistem, berinvestasi dalam teknologi baru, atau bahkan menghentikan sistem lama yang tidak bisa diperbarui. Ketergantungan pada teknologi yang terus berkembang akhirnya malah menggerogoti tujuan efisiensi itu sendiri.

Masalah Manajemen di Era Hyper-Automation

Hyper-automation mengandaikan bahwa lebih banyak otomatisasi berarti lebih sedikit pekerjaan bagi manusia. Namun, dalam praktiknya, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ketika sistem otomatis tidak sepenuhnya matang, proses kerja malah jadi berbelit-belit.

Dalam banyak kasus, keputusan yang dulunya dapat diambil cepat oleh manusia, sekarang harus melalui analisis data yang panjang, memperlambat proses dan mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan pada analitik mesin.

Sebagai ilustrasi, dalam proses produksi yang kompleks, perusahaan memutuskan untuk menggunakan otomatisasi total. Setiap gerakan mesin dihitung, setiap langkah dipantau. Awalnya ini terasa seperti cara yang ideal, namun ternyata kecepatan sistem malah melambat karena terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk menunggu respons dari perangkat lunak yang "harusnya" canggih.

Situasi semacam ini tidak jarang menyebabkan apa yang disebut "bottleneck digital," yakni ketika terlalu banyak komponen saling bergantung satu sama lain. Akibatnya, jika salah satu dari komponen tersebut tidak bekerja sesuai ekspektasi, seluruh proses pun terhambat, dan waktu yang diperlukan untuk memperbaiki masalah tersebut memakan biaya besar.

Di sinilah ironi terbesar dari hyper-automation berada, dimana ketergantungan pada teknologi yang terlalu masif bisa berakhir dengan perlambatan kinerja perusahaan itu sendiri.

Efek Global Hyper-Automation

Dalam skala global, efek dari hyper-automation juga turut mengusik keseimbangan ekonomi. Otomatisasi di satu sisi memang memicu efisiensi, namun juga meningkatkan kesenjangan kerja di sektor-sektor tertentu.

Berdasarkan penelitian Bessen (2019), ketergantungan pada otomatisasi bisa menghambat pertumbuhan ekonomi dengan meminggirkan banyak tenaga kerja. Di Amerika Serikat, misalnya, peralihan besar-besaran ke otomatisasi di sektor manufaktur telah menciptakan gelombang PHK yang justru menekan daya beli masyarakat.

Otomatisasi yang terlalu cepat dan tanpa strategi jangka panjang dapat memicu efek domino pada ekonomi global, dan pada akhirnya, produktivitas keseluruhan malah merosot. Ironisnya, hyper-automation yang diharapkan menjadi solusi malah memperbesar beban ekonomi karena menciptakan kesenjangan lapangan kerja.

Apa yang terjadi di sektor industri hanyalah permulaan. Dampaknya bisa jadi akan meluas ke sektor lainnya seperti keuangan, kesehatan, dan pendidikan yang semakin terdampak oleh ketergantungan teknologi.

***

Pada akhirnya, hyper-automation mungkin memang bisa mengubah peta ekonomi, tetapi dengan dampak yang seringkali tidak kita antisipasi. Ketika otomatisasi terlalu dipaksakan tanpa strategi yang matang, kita sebenarnya hanya memperpanjang daftar tantangan yang harus kita hadapi di masa depan.

Apakah benar bahwa otomatisasi adalah jawaban dari semua masalah? Mungkin ya, mungkin tidak. Namun, tanpa keseimbangan dan kontrol, otomatisasi dapat menjadi pedang bermata dua yang justru memperlambat kemajuan kita.

Paradoks otomatisasi ini seolah menggambarkan sebuah pesan penting bahwasanya terkadang apa yang tampak sebagai solusi ideal tidak selalu berakhir sebagai solusi sempurna. Mulai dari peralatan sederhana hingga hyper-automation, teknologi akan terus berkembang, tetapi pada akhirnya, keseimbangan tetaplah menjadi kunci.

Maturnuwun,

Growthmedia

NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun