Di era yang seharusnya mengutamakan efisiensi dan produktivitas, kita justru menemukan fenomena sebaliknya. Banyak perusahaan telah mengadopsi otomatisasi dengan harapan akan mengurangi biaya dan waktu kerja. Namun, data terbaru menunjukkan bahwa "hyper-automation" - sebuah level otomatisasi yang jauh melampaui sekadar otomatisasi tradisional - dapat menjadi bumerang. Alih-alih meningkatkan produktivitas, hal ini justru menghambat kinerja global.
Â
Sebagai contoh, laporan dari Bessen (2019) dan Autor & Salomons (2018) menunjukkan bahwa dampak otomatisasi terhadap produktivitas tidak selalu berbanding lurus. Apa yang seringkali terlupakan adalah bahwa otomatisasi besar-besaran dapat menimbulkan ketergantungan sistem yang kompleks, menciptakan masalah baru yang bahkan lebih sulit diatasi.
Dengan kata lain, ketika mesin diatur untuk menyelesaikan segalanya, kita justru membuka peluang untuk bottleneck yang lebih besar seperti masalah manajemen, peningkatan biaya perawatan, hingga kebergantungan pada teknologi yang sulit diintegrasikan.
Otomatisasi dalam Skala Luas
Ketika berbicara tentang otomatisasi, yang terbayang seringkali adalah penghematan besar dalam tenaga kerja. Di satu sisi, otomatisasi memang telah terbukti menggantikan tugas-tugas yang bersifat repetitif, mempercepat proses, dan mengurangi kesalahan manusia. Namun, menurut penelitian Autor dan Salomons (2018), otomatisasi juga memiliki efek yang tidak diharapkan, yakni memperlebar jarak antara apa yang disebut pekerjaan "berkualitas" dan "rendah kualitas."
Bayangkan situasi ini: Perusahaan raksasa menerapkan sistem otomatis yang mengatur inventaris secara real-time, memantau stok hingga ke detail terkecil. Awalnya, sistem ini tampak menjanjikan, tetapi beberapa bulan kemudian, masalah mulai muncul. Setiap detil perlu dikelola dengan begitu teliti hingga perusahaan tersebut harus menambah tim untuk memastikan sistem tetap berjalan. Apa yang terjadi? Alih-alih menghemat biaya, perusahaan malah mengeluarkan lebih banyak untuk tim kontrol dan pemeliharaan.
Tidak hanya itu, otomatisasi skala besar sering kali menciptakan ilusi produktivitas. Pekerjaan yang dulunya bisa dikelola dengan tenaga manusia sekarang membutuhkan lebih banyak keterlibatan digital.
Di balik layar, perusahaan harus terus memperbarui sistem, berinvestasi dalam teknologi baru, atau bahkan menghentikan sistem lama yang tidak bisa diperbarui. Ketergantungan pada teknologi yang terus berkembang akhirnya malah menggerogoti tujuan efisiensi itu sendiri.
Masalah Manajemen di Era Hyper-Automation
Hyper-automation mengandaikan bahwa lebih banyak otomatisasi berarti lebih sedikit pekerjaan bagi manusia. Namun, dalam praktiknya, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ketika sistem otomatis tidak sepenuhnya matang, proses kerja malah jadi berbelit-belit.
Dalam banyak kasus, keputusan yang dulunya dapat diambil cepat oleh manusia, sekarang harus melalui analisis data yang panjang, memperlambat proses dan mengakibatkan ketergantungan yang berlebihan pada analitik mesin.
Sebagai ilustrasi, dalam proses produksi yang kompleks, perusahaan memutuskan untuk menggunakan otomatisasi total. Setiap gerakan mesin dihitung, setiap langkah dipantau. Awalnya ini terasa seperti cara yang ideal, namun ternyata kecepatan sistem malah melambat karena terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk menunggu respons dari perangkat lunak yang "harusnya" canggih.