Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Fenomena "Quiet Quitting" antara Evolusi Budaya Kerja atau Protes terhadap Sistem Ekonomi?

28 Oktober 2024   08:27 Diperbarui: 28 Oktober 2024   08:29 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi muda kini lebih memilih bekerja sesuai kontrak tanpa beban tambahan. Quiet quitting, trend atau bentuk protes? | Ilustrasi gambar: freepik.com/ freepik

Beberapa waktu terakhir, frasa "quiet quitting" ramai dibicarakan di media sosial, terutama oleh generasi muda yang melihat pekerjaan dengan perspektif yang cukup berbeda. Tak seperti orang tua mereka yang terbiasa bekerja "all-out," kini muncul tren "cukup kerja sesuai gaji"---tanpa usaha ekstra yang dinilai tidak sepadan dengan kompensasi.

Fenomena ini memicu beragam pertanyaan: Apakah quiet quitting adalah bentuk evolusi budaya kerja? Ataukah ini sebenarnya bentuk protes diam-diam terhadap sistem ekonomi yang dianggap semakin kurang manusiawi?

 

Mari kita telusuri lebih dalam, sebab setiap kali quiet quitting dibahas, diam-diam ada pertanyaan yang mencuat, "Apakah generasi ini terlalu malas bekerja atau justru terlalu cerdas untuk dieksploitasi?"

Sebuah Gaya Baru dalam Memandang Kerja

Generasi muda tampak semakin enggan untuk bekerja dengan tempo yang berlebihan tanpa ada timbal balik yang adil. Quiet quitting sebenarnya bukan hanya soal "kerja malas," melainkan lebih seperti menjaga batas dalam hubungan kerja. Generasi ini belajar bahwa kontrak kerja sudah cukup jelas; dan jika atasan meminta lebih tanpa kompensasi, maka mereka memilih untuk tidak memberikan "lebih" pula.

Peneliti dari Academy of Management Journal dalam "The Silent Protest: Job Crafting and Employee Silence" meneliti bagaimana quiet quitting bisa menjadi respon "silent protest" terhadap ekspektasi kerja yang tidak seimbang. "Silent protest" ini bukan untuk menunjukkan ketidakmampuan, tetapi lebih karena sudah jenuh dengan ekspektasi yang terlalu tinggi.

Sebagaimana John Steinbeck pernah berkata, "And now that you don't have to be perfect, you can be good." (Dan kini, ketika Anda tak harus sempurna, Anda bisa cukup menjadi baik.)

Quiet quitting muncul karena tekanan yang tak kunjung henti (deadlines, responsivitas 24/7, dan budaya "grind" yang seakan menjadi standar di dunia kerja modern). Tentu tak mengherankan jika akhirnya muncul kesadaran baru untuk menjalankan tugas dengan batasan yang wajar dan lebih sejalan dengan kesejahteraan mental.

Evolusi Budaya Kerja atau Tanda-Tanda Ketidakpuasan Ekonomi?

Jika diperhatikan lebih jauh, quiet quitting bisa dianggap sebagai tanda adanya ketidakpuasan lebih besar terhadap sistem ekonomi saat ini. Kenapa? Karena generasi ini kian paham bahwa peningkatan produktivitas kerapkali tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan karyawan. Mereka mulai sadar bahwa loyalitas tinggi dan kerja berlebihan tidak lagi menjadi penjamin kehidupan yang nyaman.

Menurut Harvard Business Review, quiet quitting adalah tanda bahwa pekerja merasa tidak terlibat secara emosional dalam pekerjaan. Ketika ekspektasi kerja semakin naik, tetapi benefitnya tidak berubah, wajar jika muncul gerakan diam-diam ini. Quiet quitting menjadi semacam "protes sunyi" - pesan bahwa tenaga kerja kini menuntut keadilan dan hak yang lebih baik. Tidak ada lagi "kerja ekstra untuk promosi." Karena mereka tahu, "Kerja keras adalah langkah pertama, bukan akhir dari segalanya."

Namun, apakah ini berarti ekonomi yang tidak seimbang telah membunuh semangat kerja? Tidak selalu. Generasi ini memiliki harapan lebih besar terhadap kesejahteraan dalam hidup dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk beradaptasi dalam sistem, bukan tunduk.

Mereka yang melakukan quiet quitting bukan berarti "berhenti" bekerja, tetapi hanya melakukan yang cukup. Sebuah pesan halus bahwa, "Kalau ingin hasil lebih, berikan kompensasi yang setimpal."

Antara Kompensasi dan Kesejahteraan, Mana yang Lebih Diutamakan?

Dalam beberapa perusahaan, manajemen masih berpegang pada pandangan lama bahwa karyawan yang produktif adalah yang "mau bekerja lebih dari yang diharapkan." Namun, era quiet quitting menantang gagasan ini. Para pekerja muda hari ini memilih mempertahankan waktu dan kesehatan mentalnya daripada berlarut-larut dalam rutinitas kerja yang tidak memberikan kebahagiaan sejati. Mereka paham, bekerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga soal hidup yang bermakna.

Elizabeth Gilbert pernah berkata, "Perhatikan di mana energimu terfokus, karena di situlah kehidupanmu akan bertumbuh." (Notice where your energy goes, because where it goes, there is where your life grows.) Kalimat ini mencerminkan bagaimana generasi quiet quitting lebih memilih menjaga energi dan kesejahteraan mereka.

Mereka sadar bahwa kehidupan tidak melulu soal bekerja dan mengejar promosi. Quiet quitting adalah bukti dari kesadaran untuk menikmati hidup di luar kerja dan memperjuangkan haknya.

Bagi mereka, kualitas hidup adalah prioritas utama, bukan sekadar status pekerjaan. Quiet quitting bukanlah bentuk "perlawanan" dalam arti konfrontasi, tetapi lebih pada penegasan bahwa keseimbangan hidup adalah hal mutlak yang harus dicapai. Apakah ini berarti revolusi budaya kerja akan segera terjadi? Bisa jadi. Sebab budaya kerja yang ideal tidak lagi mementingkan jam lembur dan pengorbanan waktu, melainkan menyeimbangkan antara hidup dan pekerjaan.

***

Fenomena quiet quitting ini adalah refleksi dari pencarian keseimbangan hidup yang tidak hanya diinginkan oleh satu generasi, tetapi sebenarnya oleh semua orang yang pernah merasakan tekanan kerja berlebih tanpa imbalan memadai. Kita mungkin hidup di masa yang serba cepat, namun bukan berarti harus mengikuti arus dengan melepas prinsip kesejahteraan.

Tidak ada yang salah dengan memprioritaskan diri sendiri di atas pekerjaan yang kian menuntut banyak hal. Yang ada justru tantangan besar bagi para manajer dan pemilik usaha untuk beradaptasi dengan ekspektasi tenaga kerja masa kini.

Jika mereka mampu mengakui bahwa keseimbangan antara hak pekerja dan keuntungan bisnis harus sejajar, maka mungkin akan tercipta budaya kerja yang lebih harmonis. Quiet quitting hanya permulaan, dan ini bisa menjadi tanda bahwa perubahan besar akan datang.

Bagaimana denganmu? Apakah quiet quitting berarti ketidakpedulian, atau justru bentuk kecerdasan dalam menata hidup? Kita hidup di masa yang cepat berubah, namun jangan sampai lupa bahwa setiap detik yang kita habiskan hanya ada satu kali untuk kita nikmati.

Maturnuwun,

Growthmedia

NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun