Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Fenomena "Quiet Quitting" antara Evolusi Budaya Kerja atau Protes terhadap Sistem Ekonomi?

28 Oktober 2024   08:27 Diperbarui: 28 Oktober 2024   08:29 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi muda kini lebih memilih bekerja sesuai kontrak tanpa beban tambahan. Quiet quitting, trend atau bentuk protes? | Ilustrasi gambar: freepik.com/ freepik

Mereka yang melakukan quiet quitting bukan berarti "berhenti" bekerja, tetapi hanya melakukan yang cukup. Sebuah pesan halus bahwa, "Kalau ingin hasil lebih, berikan kompensasi yang setimpal."

Antara Kompensasi dan Kesejahteraan, Mana yang Lebih Diutamakan?

Dalam beberapa perusahaan, manajemen masih berpegang pada pandangan lama bahwa karyawan yang produktif adalah yang "mau bekerja lebih dari yang diharapkan." Namun, era quiet quitting menantang gagasan ini. Para pekerja muda hari ini memilih mempertahankan waktu dan kesehatan mentalnya daripada berlarut-larut dalam rutinitas kerja yang tidak memberikan kebahagiaan sejati. Mereka paham, bekerja bukan hanya soal mencari nafkah, tetapi juga soal hidup yang bermakna.

Elizabeth Gilbert pernah berkata, "Perhatikan di mana energimu terfokus, karena di situlah kehidupanmu akan bertumbuh." (Notice where your energy goes, because where it goes, there is where your life grows.) Kalimat ini mencerminkan bagaimana generasi quiet quitting lebih memilih menjaga energi dan kesejahteraan mereka.

Mereka sadar bahwa kehidupan tidak melulu soal bekerja dan mengejar promosi. Quiet quitting adalah bukti dari kesadaran untuk menikmati hidup di luar kerja dan memperjuangkan haknya.

Bagi mereka, kualitas hidup adalah prioritas utama, bukan sekadar status pekerjaan. Quiet quitting bukanlah bentuk "perlawanan" dalam arti konfrontasi, tetapi lebih pada penegasan bahwa keseimbangan hidup adalah hal mutlak yang harus dicapai. Apakah ini berarti revolusi budaya kerja akan segera terjadi? Bisa jadi. Sebab budaya kerja yang ideal tidak lagi mementingkan jam lembur dan pengorbanan waktu, melainkan menyeimbangkan antara hidup dan pekerjaan.

***

Fenomena quiet quitting ini adalah refleksi dari pencarian keseimbangan hidup yang tidak hanya diinginkan oleh satu generasi, tetapi sebenarnya oleh semua orang yang pernah merasakan tekanan kerja berlebih tanpa imbalan memadai. Kita mungkin hidup di masa yang serba cepat, namun bukan berarti harus mengikuti arus dengan melepas prinsip kesejahteraan.

Tidak ada yang salah dengan memprioritaskan diri sendiri di atas pekerjaan yang kian menuntut banyak hal. Yang ada justru tantangan besar bagi para manajer dan pemilik usaha untuk beradaptasi dengan ekspektasi tenaga kerja masa kini.

Jika mereka mampu mengakui bahwa keseimbangan antara hak pekerja dan keuntungan bisnis harus sejajar, maka mungkin akan tercipta budaya kerja yang lebih harmonis. Quiet quitting hanya permulaan, dan ini bisa menjadi tanda bahwa perubahan besar akan datang.

Bagaimana denganmu? Apakah quiet quitting berarti ketidakpedulian, atau justru bentuk kecerdasan dalam menata hidup? Kita hidup di masa yang cepat berubah, namun jangan sampai lupa bahwa setiap detik yang kita habiskan hanya ada satu kali untuk kita nikmati.

Maturnuwun,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun