Dengan lonjakan penggunaan pinjaman online (Pinjol) di masyarakat, banyak yang mulai terjebak dalam siklus utang yang sulit diputuskan. Di sisi lain, pemerintah kini merencanakan pemutihan utang bagi petani dan nelayan untuk meringankan beban sektor agrikultur. Ini menimbulkan pertanyaan penting: Mengapa masyarakat yang terjerat utang Pinjol tidak mendapatkan perlakuan yang sama?Â
Kebijakan pemutihan utang bagi petani dan nelayan didorong oleh faktor krisis ekonomi dan iklim, sementara mereka yang terjebak dalam pinjaman online sering kali merupakan korban situasi ekonomi digital yang berubah cepat.
Kebijakan publik memiliki logika dan pertimbangan yang kompleks di balik setiap keputusannya. Melalui artikel ini, kita akan menyoroti perbedaan dalam memperlakukan kelompok masyarakat yang berutang pada bank konvensional seperti petani dan nelayan, dengan mereka yang berutang melalui Pinjol.
Apakah pemutihan utang layak diterapkan pada sektor digital ini? Bagaimana struktur ekonomi kedua kelompok ini berbeda, dan apa dampaknya jika kebijakan pemutihan utang juga diterapkan pada Pinjol?
Â
Struktur Ekonomi Petani, Nelayan, dan Pengguna Pinjol
Perbedaan mendasar antara petani, nelayan, dan pengguna Pinjol terletak pada struktur ekonomi dan tujuan penggunaan pinjaman yang mereka dapatkan. Petani dan nelayan seringkali meminjam modal untuk keperluan produksi: membeli pupuk, bibit, atau alat tangkap.
Utang mereka terkait erat dengan keberlangsungan produksi pangan dan ekonomi masyarakat. Ketika cuaca buruk atau krisis ekonomi melanda, kemampuan mereka untuk melunasi utang pun terganggu. Oleh karena itu, pemutihan utang bagi mereka bisa dilihat sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas sektor pangan.
Di sisi lain, pengguna Pinjol umumnya meminjam untuk kebutuhan konsumtif atau darurat. Pinjaman tersebut bukan terkait dengan produksi ekonomi, melainkan untuk kebutuhan sehari-hari atau mendesak seperti biaya kesehatan ataupun pendidikan.
Dalam banyak kasus, penggunaan Pinjol seringkali dipicu oleh keterbatasan akses ke perbankan formal. Ini menyebabkan pertanyaan krusial: Apakah kebijakan pemutihan utang yang diterapkan pada petani dan nelayan juga relevan untuk pengguna Pinjol, yang berada di bawah dinamika pasar keuangan digital?
Salah satu alasan mengapa pemutihan utang bagi Pinjol mungkin lebih rumit dibandingkan petani dan nelayan adalah karakteristik pinjaman digital itu sendiri. Berdasarkan penelitian Davel dan Alvarez (2021), siklus utang digital memperlihatkan bahwa masyarakat yang terjebak Pinjol sering kali masuk ke dalam lingkaran utang yang lebih besar akibat bunga yang tinggi dan waktu pelunasan yang singkat.
Selain itu, mekanisme digitalisasi Pinjol membuat peminjam lebih rentan terhadap kebijakan yang kurang transparan, karena mereka umumnya tidak memahami sepenuhnya risiko yang terkait dengan pinjaman tersebut.
Utang digital kerap ditawarkan dengan kemudahan akses yang tinggi, namun dengan risiko tersembunyi yang besar. Apakah kebijakan pemutihan utang dapat menyasar kelompok ini secara efektif?
Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa regulasi dan kontrol terhadap perusahaan Pinjol cukup kuat untuk mencegah praktik predatorik yang kerap menjebak masyarakat. Kebijakan ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara melindungi masyarakat dan menjaga stabilitas sektor keuangan digital.
Â
Keadilan Sosial dan Pemutihan Utang: Siapa yang Layak?
Keadilan sosial menjadi aspek penting dalam pembahasan ini. Jika pemerintah memutuskan untuk memutihkan utang petani dan nelayan, pertanyaannya adalah: Apakah pengguna Pinjol yang juga kesulitan melunasi utang tidak layak mendapat perlakuan serupa?
Dari perspektif keadilan, kebijakan ini bisa saja menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat yang merasa bahwa mereka terjebak dalam situasi ekonomi yang tidak berbeda jauh dari petani dan nelayan, namun tidak mendapatkan dukungan yang sama.
Namun, di sisi lain, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak fiskal dan risiko yang ditimbulkan oleh pemutihan utang dalam sektor keuangan digital. Apakah pemutihan utang Pinjol akan merugikan stabilitas sektor ini, atau justru menciptakan preseden yang berbahaya bagi para pemberi pinjaman? Ada keseimbangan yang harus dicapai antara memberi bantuan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan dan menjaga keberlangsungan sektor keuangan.
Daripada langsung menerapkan kebijakan pemutihan utang, pemerintah bisa mempertimbangkan solusi yang lebih berkelanjutan, misalnya memperketat regulasi Pinjol dan menyediakan mekanisme restrukturisasi utang yang lebih manusiawi. Langkah ini akan lebih efektif dalam jangka panjang guna mencegah masyarakat kembali terjebak dalam utang.
Selain itu, program literasi keuangan perlu diperluas untuk membantu masyarakat memahami risiko Pinjol sebelum memutuskan untuk meminjam.
Nelson Mandela pernah mengatakan, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." ("Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat Anda gunakan untuk mengubah dunia"). Dalam hal ini, pendidikan keuangan yang memadai adalah senjata ampuh untuk melawan jeratan utang digital yang semakin marak.
Â
Meskipun pemutihan utang untuk petani dan nelayan memiliki argumen kuat berdasarkan sektor produksi dan dampaknya pada stabilitas pangan, namun untuk menerapkan kebijakan serupa pada pengguna Pinjol membutuhkan pertimbangan lebih dalam. Regulasi yang lebih ketat dan pendidikan keuangan mungkin lebih efektif untuk membantu masyarakat lepas dari jeratan utang digital.
Bagaimanapun juga yang paling aman adalah menghindari sebisa mungkin ketergantungan terhadap pinjol dan melepaskan diri dari potensi jeratan yang semakin erat dari waktu ke waktu.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H