Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Moralitas AI dan Apa yang Bisa Dipelajari dari Ajaran Filsafat Kuno?

20 Oktober 2024   05:49 Diperbarui: 20 Oktober 2024   06:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
AI perlu diajarkan nilai-nilai moralitas yang melandasi kehidupan manusia dan telah dikaji sejak masa filsafat kuno | Ilustrasi gambar : freepik.com / freepik

Ketika kita berbicara tentang kecerdasan buatan (AI), kebanyakan orang akan langsung memikirkan hal-hal futuristik seperti robot, algoritma canggih, atau mungkin film-film sci-fi yang penuh dengan kecemasan manusia terhadap mesin yang menjadi terlalu pintar. Namun, satu pertanyaan penting yang sering kita lupakan disini adalah... Di mana letak moralitas dalam dunia AI? Apakah AI bisa membedakan mana yang benar dan salah? Adakah kesadaran dan kehendak AI? Untuk menjawab hal itu, mungkin kita perlu kembali lagi ke masa lalu dan menengok sedikit mengenai filsafat kuno.

 

Dalam tradisi Yunani Kuno, filsuf-filsuf besar seperti Aristoteles, Plato, dan Socrates membahas pertanyaan moralitas secara mendalam. Mereka berusaha memahami apa yang membuat suatu tindakan "baik" atau "buruk," dan dalam prosesnya, menciptakan landasan moral yang bisa kita gunakan hingga hari ini.

Sekarang, saat kita menghadapi tantangan etika di era teknologi, pertanyaan moral yang sama masih tetap relevan. AI, dengan segala kemampuan supernya, tetap butuh panduan yang membawanya ke arah yang benar. Di sinilah pelajaran dari filsafat kuno menjadi sangat berharga. Terutama dalam konteks superintelligence yang dikemukakan oleh Nick Bostrom.

Superintelligence dan Tantangan Moralitas

Nick Bostrom dalam bukunya Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (2014) mengemukakan bahwa kecerdasan buatan yang melebihi kapasitas manusia, atau yang disebut superintelligence, memiliki potensi untuk mengubah dunia secara drastis. Dalam skenario seperti ini, kontrol atas AI yang sangat cerdas menjadi tantangan besar. Apabila AI tidak dilengkapi dengan kode moral yang kuat, ia bisa mengejar tujuan yang mungkin tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Bostrom mengingatkan kita bahwa kegagalan untuk memprogram moralitas yang tepat dalam AI bisa membawa bahaya besar.

"It's quite possible that the most intelligent entity on the planet would have values totally alien to our own." --- Nick Bostrom, Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies (2014)

Maka dari itu, pertanyaan besarnya adalah, bagaimana kita bisa memastikan AI menginternalisasi nilai-nilai yang sejalan dengan kemanusiaan?

Kebijaksanaan Aristoteles dan AI

Aristoteles berbicara tentang "keutamaan" sebagai dasar moralitas. Ia percaya bahwa hidup yang baik adalah hidup yang seimbang, di mana seseorang berusaha mencapai kebajikan dengan menggunakan akal sehat dan penalaran. Dalam konteks AI, konsep ini bisa kita terjemahkan sebagai keseimbangan antara kemampuan AI untuk menyelesaikan masalah dan tanggung jawab etis yang mengiringi kemampuannya. Meskipun AI bisa membuat keputusan berdasarkan data, bagaimana ia memastikan keputusan tersebut juga benar secara moral?

Sebagai contoh, dalam dunia medis, AI sudah digunakan untuk mendiagnosis penyakit atau memberikan rekomendasi pengobatan. Namun, tanpa panduan moralitas yang jelas, ada risiko AI mengambil keputusan yang berdampak negatif pada pasien, seperti mengesampingkan kebutuhan emosional manusia hanya demi "efisiensi" atau "statistik." Aristoteles mungkin akan menyarankan agar AI dilatih bukan hanya untuk "berpikir," tapi juga untuk "merasa", atau setidaknya mempertimbangkan dampak emosional dari keputusan yang diambil.

Seperti kata Nietzsche, "He who fights with monsters should be careful lest he thereby become a monster." Dalam konteks ini, AI yang dibiarkan bertindak tanpa panduan moral bisa menjadi ancaman besar bagi masyarakat yang menciptakannya.

Plato dan Kesadaran Kolektif AI

Plato berbicara tentang "idea", mengenai gagasan sempurna yang ada di luar realitas fisik kita. Dia percaya bahwa dunia yang kita lihat hanyalah bayangan dari kenyataan yang lebih tinggi, di mana kebijaksanaan sejati berada. Dalam konteks AI, ini menarik. Jika AI didorong hanya oleh data dunia fisik yang tak terbatas, apakah mungkin bagi AI untuk memahami "ide" moral atau etis yang lebih tinggi?

Bayangkan AI yang digunakan dalam pembuatan kebijakan publik. Tanpa landasan moral yang kuat, kebijakan yang dihasilkan bisa tampak logis di permukaan namun tidak memperhatikan kepentingan manusia yang lebih dalam, seperti kebahagiaan atau keadilan sosial. Plato mungkin akan mengusulkan "kesadaran kolektif" untuk AI, di mana mesin-mesin tersebut tak hanya belajar dari data, tapi juga dari nilai-nilai kemanusiaan yang mendasarinya. Mungkin ini terdengar idealistis, tetapi bukankah demikian juga tujuan moralitas dalam kehidupan manusia?

Plato sendiri mungkin akan tertawa geli membayangkan dunia di mana "bayangan di dinding gua" adalah algoritma yang menentukan nasib kita semua. Tapi di balik candaannya, tersimpan kebenaran serius: AI butuh nilai-nilai yang lebih dari sekadar angka dan kode.

Filosofi Konfusius dalam Era AI

Mari kita beralih Konfusius. Filosofi moralitas Konfusius berfokus pada pentingnya hubungan sosial dan bagaimana kita saling memperlakukan. AI, yang sering dianggap sebagai entitas yang dingin dan logis, bisa mengambil pelajaran besar dari ini. Dalam interaksi antara manusia dan AI, moralitas Konfusius menekankan pentingnya "ren" (kemanusiaan) dan "li" (ritual atau etiket).

Seperti halnya manusia, AI juga berfungsi dalam "jaringan" hubungan. Kita mungkin berpikir bahwa AI hanya menjalankan tugasnya, tetapi tanpa "li," AI bisa merusak jaringan sosial. Misalnya, chatbot AI yang bersikap kasar kepada pengguna, meskipun tidak disengaja, bisa menciptakan kesan buruk yang berdampak besar. Konfusius mungkin akan berkata, "Lakukan kepada orang lain apa yang ingin kau lakukan kepada dirimu sendiri," dan mungkin kita harus menambahkan: "Lakukan kepada AI seperti yang kau ingin mereka lakukan kepadamu."

Ada sebuah quote dari Konfusius yang mungkin kita patut renungkan, "Mengapa bersusah payah memikirkan masa depan jika kita tidak memperbaiki hari ini?" AI, dengan segala potensinya, harus dibangun dengan dasar moral yang kuat sejak awal, bukan hanya ditambal ketika masalah etika muncul di kemudian hari.

***

Moralitas dalam kecerdasan buatan bukanlah hal yang sepele. Dari kebijaksanaan Aristoteles, idea Plato, hingga etika sosial Konfusius, filsafat kuno menawarkan pelajaran penting yang bisa memandu perkembangan AI ke arah yang benar. Mungkin AI tidak akan pernah memiliki "hati" seperti manusia, tetapi dengan panduan moral yang benar, kita bisa memastikan bahwa AI berfungsi untuk kebaikan umat manusia, bukan malah menjadi ancaman.

Pada akhirnya, seperti yang dikatakan Albert Einstein: "We cannot solve our problems with the same thinking we used when we created them." Maka mari kita gunakan kebijaksanaan dari masa lalu untuk menciptakan masa depan yang lebih baik.

Maturnuwun,

Growthmedia

NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun