Tumbuh di era digital yang terus berkembang, saya melihat bagaimana teknologi, terutama kecerdasan buatan (Artificial Intelligence, AI), telah mempengaruhi berbagai lini, terlebih di sektor ekonomi. Tetiba saat mendengar wacana pemerintah menggenjot penerimaan negara dari pajak, maka sebuah pertanyaan pun muncul: mungkinkah AI suatu hari nanti menggantikan sistem pajak tradisional secara keseluruhan?
Pikiran ini langsung membuat saya membayangkan bagaimana antrean pajak yang dijalankan oleh robot yang tak pernah kelelahan atau berbuat kesalahan.
Namun, apakah ini benar-benar realistis? Di satu sisi, AI mampu mengolah data dengan sangat cepat dan akurat. Ia tak kenal lelah, tidak butuh istirahat makan siang, apalagi liburan. AI dapat memonitor transaksi real-time, bahkan mencegah manipulasi pajak dengan lebih efektif daripada manusia.
Tapi di sisi lain, ada elemen manusia dalam sistem pajak yang belum tentu bisa digantikan oleh algoritma, seperti pertimbangan kebijakan yang lebih kompleks atau pengecualian kasus-kasus tertentu.
Â
Teknologi Pajak, Mimpi atau Realitas?
Berbicara tentang penerapan AI dalam sistem pajak, kita tak bisa menafikan potensi efisiensi yang ditawarkannya. Sistem pajak tradisional umumnya melibatkan proses yang panjang, dari pengumpulan hingga verifikasi data wajib pajak. Di sinilah AI muncul sebagai inovator revolusioner, menggantikan peran-peran manual tersebut dengan algoritma canggih yang mampu bekerja tanpa jeda.
Namun, apakah dengan kemajuan teknologi, kita sudah siap sepenuhnya menyerahkan peran penting ini pada robot?
Ada contoh menarik dari Estonia, di mana sebagian besar sistem perpajakan digital telah diotomatisasi menggunakan AI. Waktu pengisian pajak yang dulunya memakan waktu berjam-jam kini hanya memerlukan beberapa menit saja.
"Bureaucracy is the art of making the possible impossible," kata Nikita Khrushchev, seorang pemimpin Soviet. (Birokrasi adalah seni membuat yang mungkin menjadi tidak mungkin.). Akan tetapi, Estonia tampaknya membalikkan kutipan ini dengan mempermudah segala sesuatunya melalui teknologi, mengubah yang rumit menjadi sederhana.
Namun, robot pajak masih membutuhkan kontrol manusia, terutama dalam kasus-kasus yang memerlukan penilaian moral atau kebijakan yang tidak bisa diukur hanya dengan angka. Misalnya, bagaimana AI akan menangani kebijakan keringanan pajak bagi kelompok marginal? Bagaimana jika robot membuat kesalahan fatal dalam keputusan yang berdampak besar pada kehidupan seseorang?
Kendala Hukum dan Etika di Balik AI
Terlepas dari potensi teknis, penerapan robot pajak menghadapi tantangan hukum dan etika yang tidak bisa diabaikan. Hukum perpajakan di banyak negara dirancang untuk mencerminkan konteks sosial dan budaya tertentu. AI, meskipun cerdas, belum tentu mampu menangkap seluruh nuansa ini dengan sempurna.
Di sinilah dilema muncul, apakah kita ingin mengotomatisasi semua sistem pajak, atau kita tetap memerlukan campur tangan manusia dalam situasi tertentu? Memasukkan AI ke dalam sistem pajak juga mengundang pertanyaan tentang keamanan data. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa data wajib pajak tidak akan jatuh ke tangan yang salah?
Beberapa negara masih skeptis, meskipun AI menawarkan potensi penghematan besar dalam biaya operasional. Bayangkan jika semua sistem perpajakan kita diotomatisasi, kita tidak akan lagi menghadapi petugas pajak yang terlihat kurang bersemangat atau layanan yang tertunda karena server down. Namun, sekali lagi, risiko kebocoran data dan kesalahan algoritma tetap harus menjadi perhatian utama.
Robot Pajak, Kemungkinan atau Mimpi Jauh?
Dalam bayangan ideal, AI mungkin suatu hari nanti akan menjadi tulang punggung sistem perpajakan yang efektif dan efisien, menggantikan sistem tradisional yang lamban dan seringkali tidak akurat. Namun, seperti yang telah kita lihat, ada banyak faktor yang harus dipertimbangkan sebelum sepenuhnya mengadopsi teknologi ini. Kita tidak hanya berbicara tentang kecepatan dan akurasi; kita juga harus memperhitungkan aspek legal, moral, dan etis yang akan ikut berperan.
Sebagai penutup, kita harus berpikir lebih luas dari sekadar efisiensi. "Technology is a useful servant but a dangerous master," kata Christian Lous Lange (Teknologi adalah pelayan yang berguna, tetapi tuan yang berbahaya.). Teknologi, termasuk AI, harus digunakan sebagai alat, bukan penguasa mutlak. Jika kita tidak berhati-hati, penerapan AI dalam sistem pajak bisa membawa dampak yang tidak diinginkan, mulai dari ketidakadilan hingga ketidakamanan data pribadi.
Dengan demikian, sebelum kita sepenuhnya menyerahkan kendali pajak pada robot, ada baiknya kita berpikir ulang---apakah benar AI mampu menggantikan semua aspek penting dalam sistem pajak tradisional? Mungkin masih perlu waktu dan pertimbangan matang sebelum "robot pajak" benar-benar menjadi kenyataan.
Kalau kamu sendiri bagaimana? Setuju dengan penerapan robot pajak? Atau masih nyaman dengan yang ada sekarang?
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H