Apa jadinya jika di masa depan kita tidak bisa membedakan mana yang nyata dari yang palsu? Bukan cuma dalam soal berita, tapi juga wajah dan suara manusia. Nah, fenomena ini sudah terjadi saat ini! Dengan kemunculan teknologi deepfake, kemampuan kita untuk mengenali yang asli dan yang palsu pun menjadi semakin terancam.
Teknologi kecerdasan buatan (AI) yang bisa memanipulasi video dan audio dengan sangat meyakinkan ini telah menimbulkan berbagai reaksi, mulai dari takjub hingga ketakutan.
Deepfake, kombinasi kata dari "deep learning" dan "fake," awalnya dianggap sebagai hiburan semata. Namun, seiring perkembangan zaman, teknologi ini menjadi alat yang dapat membahayakan privasi dan keamanan digital. Tapi bagaimana masyarakat dan regulasi menanggapinya? Apakah kita sudah siap menghadapinya?
#1. Privasi? Apakah Itu Masih Ada?
Privasi digital di era deepfake bagaikan mimpi buruk yang terwujud. Bayangkan, dengan teknologi ini, siapa saja bisa memalsukan wajah dan suara orang lain dengan begitu detail sehingga sulit dibedakan dari yang asli. Dalam kasus tertentu, deepfake telah digunakan untuk menciptakan video palsu yang memfitnah, memanipulasi opini publik, atau bahkan merusak reputasi seseorang.
Apakah privasi kita masih aman di tangan teknologi seperti ini? Jawabannya mungkin tidak. Dalam penelitian dari Journal of Artificial Intelligence Research (2022), disebutkan bahwa ancaman utama dari deepfake adalah invasi privasi. Video deepfake dapat digunakan untuk membuat konten-konten yang merusak dengan hanya bermodalkan foto atau video singkat dari seseorang. Luar biasa mengerikan, bukan?
Â
Seperti kata Aldous Huxley, "Technological progress has merely provided us with more efficient means for going backwards." (Kemajuan teknologi hanya menyediakan cara yang lebih efisien untuk berjalan mundur). Ironisnya, semakin maju teknologi, semakin rentan privasi kita.
#2. Pemalsuan Suara, Menyeramkan Tapi Menghibur?
Deepfake tak hanya soal memalsukan wajah, tapi juga suara. Bayangkan, suara seseorang bisa dipalsukan sehingga terdengar seolah-olah orang tersebut benar-benar mengatakannya. Teknologi ini sering digunakan dalam hiburan, seperti film atau parodi. Tetapi, ketika digunakan untuk menipu atau membuat skenario kriminal, dampaknya bisa sangat meresahkan.
Bahkan, Computer Law & Security Review (2021) mencatat bahwa pemalsuan suara deepfake telah digunakan dalam penipuan bisnis. Misalnya, CEO palsu yang memerintahkan bawahannya melakukan transfer uang besar ke rekening penjahat. Nah, di sinilah deepfake berubah dari sekadar hiburan menjadi ancaman nyata.
Â
Kita mungkin tertawa melihat parodi deepfake di media sosial, tetapi ketika suara itu digunakan untuk penipuan, ketawa kita bisa berubah menjadi tangisan.
#3. Dunia Hukum yang Tertatih-Tatih Mengejar Teknologi
Bayangkan ada aturan lalu lintas yang diciptakan untuk sepeda, tetapi di jalan sekarang ada mobil terbang. Itulah gambaran situasi regulasi deepfake. Dunia hukum masih mencoba memahami teknologi ini, sementara kejahatan menggunakan deepfake sudah terjadi di depan mata. Regulasi tertinggal jauh di belakang.
Dalam jurnal Legal Responses to Deepfake Technology: Challenges and Opportunities (2021), diungkapkan bahwa regulasi teknologi ini masih sangat lemah di banyak negara. Ini membuka celah bagi para pelaku kejahatan digital untuk menggunakan deepfake secara ilegal. Hukum masih tertatih-tatih mengejar perkembangan teknologi, dan masyarakat menjadi korban.
Â
Seperti yang dikatakan Albert Einstein, "The law must be stable, but it must not stand still." (Hukum harus stabil, tetapi tidak boleh diam di tempat). Sayangnya, dengan deepfake, hukum masih mencari cara untuk berdiri tegak.
#4. Peningkatan Ketidakpercayaan di Dunia Maya
Sudah lama kita mendengar istilah "jangan percaya semuanya di internet." Namun, dengan hadirnya deepfake, peringatan ini semakin kuat. Konten yang terlihat meyakinkan bisa jadi palsu, dan masyarakat mulai kehilangan kepercayaan pada apa yang mereka lihat dan dengar secara online.
Sebuah video viral? Sebelum percaya, kita harus bertanya, "Ini nyata atau hasil manipulasi AI?" Ketidakpastian ini mengarah pada ketidakpercayaan massal, bahkan pada berita atau bukti yang benar-benar asli.
Â
"Trust, once lost, is hard to regain." (Kepercayaan, sekali hilang, sulit dipulihkan), kata Abraham Lincoln. Dan deepfake mempercepat hilangnya kepercayaan ini.
#5. Masa Depan Deepfake: Bisa Menghibur, Bisa Membuat Hancur
Namun, tak semua tentang deepfake itu buruk. Teknologi ini juga telah digunakan dalam seni dan hiburan, menciptakan karya-karya yang tak mungkin terwujud tanpa AI. Beberapa film sudah memanfaatkan deepfake untuk menghidupkan kembali aktor yang telah tiada atau membuat efek visual yang memukau.
Namun, masa depan deepfake tetap berada di garis tipis antara menghibur dan menghancurkan. Apakah teknologi ini akan menjadi alat yang lebih bermanfaat atau lebih berbahaya? Semua tergantung pada bagaimana kita mengelolanya.
Â
Teknologi yang Harus Dikendalikan
Deepfake adalah cerminan dari teknologi yang berkembang lebih cepat dari pemahaman kita. Di satu sisi, ia menawarkan peluang besar untuk hiburan dan inovasi. Di sisi lain, ia membawa ancaman yang serius terhadap privasi, hukum, dan kepercayaan publik.
Jadi, bagaimana kita merespons? Pertama, kita perlu meningkatkan literasi digital, sehingga kita lebih waspada terhadap ancaman ini. Kedua, hukum dan regulasi harus segera menyusul perkembangan teknologi ini, agar dapat memberikan perlindungan yang memadai. Hanya dengan cara ini, kita bisa mengendalikan dampak negatif deepfake sebelum ia mengendalikan kita.
Seperti yang pernah dikatakan Arthur C. Clarke, "Any sufficiently advanced technology is indistinguishable from magic." (Teknologi yang cukup maju tak bisa dibedakan dari sihir). Dan kini, sepertinya kita harus memastikan sihir ini tak berubah menjadi mimpi buruk.
Maturnuwun,
Growthmedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H