Era digital membawa perubahan besar dalam cara kita berkomunikasi, termasuk dalam ranah profesional. Salah satu tren yang baru-baru ini mengemuka di LinkedIn adalah tagar "desperate", di mana seseorang secara terbuka membagikan perasaan putus asa mereka terkait sulit dapat kerja.Â
Sekilas, hal ini mungkin tampak seperti sekadar curhat online, namun tidakkah ada yang lebih mendalam di balik keterbukaan ini? Apakah ini suatu pertanda tengah terjadi perubahan budaya komunikasi profesional? Atau hanya bentuk lain dari kepasrahan?
Di LinkedIn, platform yang identik dengan profesionalisme dan pencarian peluang, melihat seseorang mengungkapkan rasa frustasinya secara terbuka mungkin mengejutkan. Namun, nyatanya semakin banyak pengguna yang mengambil pendekatan ini.
Mereka tidak hanya sekadar mencari pekerjaan, tetapi juga mencari dukungan emosional, simpati, dan bahkan inspirasi dari jaringan mereka. Seiring berkembangnya tren ini, penting untuk menilai apakah keterbukaan tersebut merupakan bentuk kerentanan digital yang positif atau sebaliknya justru merugikan citra profesional dari seseorang.
Mendefinisikan Ulang Profesionalisme di Era Digital
Fenomena open desperation melalui #desperate membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar tentang apa artinya menjadi profesional di era digital ini. Sebelum media sosial berkembang pesat, profesionalisme sering diukur dari kemampuan seseorang menjaga privasi emosionalnya. Namun, media sosial, terutama LinkedIn, telah membalikkan narasi ini. Konsep profesionalisme kini meluas, mencakup kemampuan menunjukkan kerentanan, sekaligus tetap memegang kendali atas narasi personal.
Seperti yang dijelaskan dalam jurnal Digital Vulnerability and Professional Networking: A Paradigm Shift, kerentanan digital kini menjadi aspek penting dalam membangun hubungan yang autentik dan kuat di dunia kerja. Ketika seseorang dengan jujur membagikan perasaan putus asanya, hal itu membuka ruang bagi diskusi tentang kesehatan mental, resilience, dan solidaritas profesional. Alih-alih dianggap sebagai tanda kelemahan, keterbukaan ini bisa menjadi simbol ketangguhan dan keberanian menghadapi ketidakpastian.
Sebagaimana Friedrich Nietzsche pernah berkata dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra: "You must carry a chaos inside you to give birth to a dancing star." (Kamu harus menyimpan kekacauan di dalam dirimu untuk melahirkan bintang yang menari).Â
Keterbukaan terhadap kekacauan dalam hidup profesional kita, seperti yang terlihat dalam tren ini, bisa jadi adalah awal dari pencapaian yang lebih besar.
Budaya Curhat dan Solidaritas Kolektif
Di LinkedIn, setiap unggahan tentang rasa frustasi seseorang hampir selalu diikuti dengan komentar dukungan, saran, dan bahkan peluang kerja. Di sinilah letak kekuatan open desperation, yakni membentuk solidaritas kolektif. Fenomena ini mirip dengan budaya curhat di media sosial yang lain, tetapi dengan pendekatan lebih fokus pada solusi dan peluang.
Banyak yang beranggapan bahwa curhat di LinkedIn, sebuah platform profesional, adalah tindakan yang tidak pantas. Namun, jika kita melihatnya dari perspektif lain, tindakan ini bisa dianggap sebagai strategi adaptif.Â
Dalam jurnal The Evolution of Professional Identity in the Age of Social Media, dijelaskan bahwa identitas profesional kita kini terbentuk bukan hanya dari keterampilan teknis, tetapi juga dari hubungan interpersonal yang kita bangun di ruang digital.Â
Namun, tidak semua kisah open desperation berakhir dengan dukungan. Ada risiko nyata ketika seseorang terlalu banyak mengungkapkan kesulitan pribadi di platform profesional.Â
Meskipun keterbukaan dapat menarik simpati, ia juga bisa menjadi bumerang, terutama jika dinilai sebagai kurangnya pengendalian emosi atau ketidakmampuan menghadapi tekanan. Dalam dunia yang sangat kompetitif, menjaga keseimbangan antara menunjukkan kerentanan dan mempertahankan citra profesional tetap penting.
Bagi sebagian orang, open desperation justru menjadi kesempatan untuk membangun personal branding yang lebih kuat. Mereka menunjukkan bahwa mereka adalah individu yang tidak takut menghadapi tantangan, bahkan saat berada di titik terendah. Namun, bagi yang lain, hal ini bisa memperlemah kredibilitas mereka di mata calon pemberi kerja atau rekan kerja.
Mengubah Keterbukaan Menjadi Kesempatan
Keterbukaan di LinkedIn bisa menjadi pedang bermata dua. Bagi mereka yang mampu memanfaatkannya dengan bijak, ini bisa menjadi cara untuk menunjukkan sisi manusiawi dari diri mereka di dunia yang semakin digital. Ketika dilakukan dengan hati-hati, berbagi kesulitan bisa menciptakan narasi yang lebih kompleks tentang siapa kita sebagai profesional. Dalam konteks ini, tren open desperation bisa dilihat sebagai evolusi dari cara kita membangun hubungan profesional di era digital.
Sebagaimana dikatakan oleh penulis besar, Leonard Cohen: "There is a crack in everything, that's how the light gets in." (Ada retakan di segala hal, di sanalah cahaya masuk). Keterbukaan terhadap kerentanan adalah bagian dari proses pertumbuhan, dan di LinkedIn, retakan ini mungkin adalah peluang bagi cahaya baru---dukungan, solusi, atau bahkan karier baru.
Apa yang bisa kita pelajari dari open desperation?
Fenomena open desperation mengajarkan kita pentingnya menyeimbangkan antara menunjukkan kerentanan dan tetap menjaga profesionalisme. Di era di mana identitas digital kita menjadi bagian dari personal branding, keterbukaan ini bisa menjadi alat untuk membangun jaringan yang lebih otentik. Namun, seperti yang kita pelajari dari tren ini, keberanian untuk terbuka harus dibarengi dengan kehati-hatian.Â
Tren open desperation di LinkedIn tidak hanya tentang pencarian pekerjaan, tetapi tentang pencarian makna dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian. Pada akhirnya, ini bukan sekadar tanda putus asa, tetapi tanda perubahan budaya yang lebih luas dalam cara kita berkomunikasi dan terhubung secara profesional di era digital.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H