Dalam jurnal The Evolution of Professional Identity in the Age of Social Media, dijelaskan bahwa identitas profesional kita kini terbentuk bukan hanya dari keterampilan teknis, tetapi juga dari hubungan interpersonal yang kita bangun di ruang digital.Â
Namun, tidak semua kisah open desperation berakhir dengan dukungan. Ada risiko nyata ketika seseorang terlalu banyak mengungkapkan kesulitan pribadi di platform profesional.Â
Meskipun keterbukaan dapat menarik simpati, ia juga bisa menjadi bumerang, terutama jika dinilai sebagai kurangnya pengendalian emosi atau ketidakmampuan menghadapi tekanan. Dalam dunia yang sangat kompetitif, menjaga keseimbangan antara menunjukkan kerentanan dan mempertahankan citra profesional tetap penting.
Bagi sebagian orang, open desperation justru menjadi kesempatan untuk membangun personal branding yang lebih kuat. Mereka menunjukkan bahwa mereka adalah individu yang tidak takut menghadapi tantangan, bahkan saat berada di titik terendah. Namun, bagi yang lain, hal ini bisa memperlemah kredibilitas mereka di mata calon pemberi kerja atau rekan kerja.
Mengubah Keterbukaan Menjadi Kesempatan
Keterbukaan di LinkedIn bisa menjadi pedang bermata dua. Bagi mereka yang mampu memanfaatkannya dengan bijak, ini bisa menjadi cara untuk menunjukkan sisi manusiawi dari diri mereka di dunia yang semakin digital. Ketika dilakukan dengan hati-hati, berbagi kesulitan bisa menciptakan narasi yang lebih kompleks tentang siapa kita sebagai profesional. Dalam konteks ini, tren open desperation bisa dilihat sebagai evolusi dari cara kita membangun hubungan profesional di era digital.
Sebagaimana dikatakan oleh penulis besar, Leonard Cohen: "There is a crack in everything, that's how the light gets in." (Ada retakan di segala hal, di sanalah cahaya masuk). Keterbukaan terhadap kerentanan adalah bagian dari proses pertumbuhan, dan di LinkedIn, retakan ini mungkin adalah peluang bagi cahaya baru---dukungan, solusi, atau bahkan karier baru.
Apa yang bisa kita pelajari dari open desperation?
Fenomena open desperation mengajarkan kita pentingnya menyeimbangkan antara menunjukkan kerentanan dan tetap menjaga profesionalisme. Di era di mana identitas digital kita menjadi bagian dari personal branding, keterbukaan ini bisa menjadi alat untuk membangun jaringan yang lebih otentik. Namun, seperti yang kita pelajari dari tren ini, keberanian untuk terbuka harus dibarengi dengan kehati-hatian.Â
Tren open desperation di LinkedIn tidak hanya tentang pencarian pekerjaan, tetapi tentang pencarian makna dalam dunia kerja yang penuh ketidakpastian. Pada akhirnya, ini bukan sekadar tanda putus asa, tetapi tanda perubahan budaya yang lebih luas dalam cara kita berkomunikasi dan terhubung secara profesional di era digital.
Maturnuwun,
Agil Septiyan Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H