Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Open Desperation, Apa yang Terjadi di Balik Ramai Tagar "Desperate" di LinkedIn?

9 Oktober 2024   11:20 Diperbarui: 9 Oktober 2024   11:23 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterbukaan di LinkedIn sering kali direspons dengan dukungan dari jaringan profesional, menciptakan solidaritas kolektif. | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com

Era digital membawa perubahan besar dalam cara kita berkomunikasi, termasuk dalam ranah profesional. Salah satu tren yang baru-baru ini mengemuka di LinkedIn adalah tagar "desperate", di mana seseorang secara terbuka membagikan perasaan putus asa mereka terkait sulit dapat kerja. Sekilas, hal ini mungkin tampak seperti sekadar curhat online, namun tidakkah ada yang lebih mendalam di balik keterbukaan ini? Apakah ini  suatu pertanda tengah terjadi perubahan budaya komunikasi profesional? Atau hanya bentuk lain dari kepasrahan?

Di LinkedIn, platform yang identik dengan profesionalisme dan pencarian peluang, melihat seseorang mengungkapkan rasa frustasinya secara terbuka mungkin mengejutkan. Namun, nyatanya semakin banyak pengguna yang mengambil pendekatan ini.

Mereka tidak hanya sekadar mencari pekerjaan, tetapi juga mencari dukungan emosional, simpati, dan bahkan inspirasi dari jaringan mereka. Seiring berkembangnya tren ini, penting untuk menilai apakah keterbukaan tersebut merupakan bentuk kerentanan digital yang positif atau sebaliknya justru merugikan citra profesional dari seseorang.

 

Mendefinisikan Ulang Profesionalisme di Era Digital

Fenomena open desperation melalui #desperate membawa kita pada pertanyaan yang lebih besar tentang apa artinya menjadi profesional di era digital ini. Sebelum media sosial berkembang pesat, profesionalisme sering diukur dari kemampuan seseorang menjaga privasi emosionalnya. Namun, media sosial, terutama LinkedIn, telah membalikkan narasi ini. Konsep profesionalisme kini meluas, mencakup kemampuan menunjukkan kerentanan, sekaligus tetap memegang kendali atas narasi personal.

Seperti yang dijelaskan dalam jurnal Digital Vulnerability and Professional Networking: A Paradigm Shift, kerentanan digital kini menjadi aspek penting dalam membangun hubungan yang autentik dan kuat di dunia kerja. Ketika seseorang dengan jujur membagikan perasaan putus asanya, hal itu membuka ruang bagi diskusi tentang kesehatan mental, resilience, dan solidaritas profesional. Alih-alih dianggap sebagai tanda kelemahan, keterbukaan ini bisa menjadi simbol ketangguhan dan keberanian menghadapi ketidakpastian.

Sebagaimana Friedrich Nietzsche pernah berkata dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra: "You must carry a chaos inside you to give birth to a dancing star." (Kamu harus menyimpan kekacauan di dalam dirimu untuk melahirkan bintang yang menari). Keterbukaan terhadap kekacauan dalam hidup profesional kita, seperti yang terlihat dalam tren ini, bisa jadi adalah awal dari pencapaian yang lebih besar.

Budaya Curhat dan Solidaritas Kolektif

Di LinkedIn, setiap unggahan tentang rasa frustasi seseorang hampir selalu diikuti dengan komentar dukungan, saran, dan bahkan peluang kerja. Di sinilah letak kekuatan open desperation, yakni membentuk solidaritas kolektif. Fenomena ini mirip dengan budaya curhat di media sosial yang lain, tetapi dengan pendekatan lebih fokus pada solusi dan peluang.

Banyak yang beranggapan bahwa curhat di LinkedIn, sebuah platform profesional, adalah tindakan yang tidak pantas. Namun, jika kita melihatnya dari perspektif lain, tindakan ini bisa dianggap sebagai strategi adaptif. Dalam jurnal The Evolution of Professional Identity in the Age of Social Media, dijelaskan bahwa identitas profesional kita kini terbentuk bukan hanya dari keterampilan teknis, tetapi juga dari hubungan interpersonal yang kita bangun di ruang digital.

 

Keterbukaan di LinkedIn sering kali direspons dengan dukungan dari jaringan profesional, menciptakan solidaritas kolektif. | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com
Keterbukaan di LinkedIn sering kali direspons dengan dukungan dari jaringan profesional, menciptakan solidaritas kolektif. | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com

Namun, tidak semua kisah open desperation berakhir dengan dukungan. Ada risiko nyata ketika seseorang terlalu banyak mengungkapkan kesulitan pribadi di platform profesional. Meskipun keterbukaan dapat menarik simpati, ia juga bisa menjadi bumerang, terutama jika dinilai sebagai kurangnya pengendalian emosi atau ketidakmampuan menghadapi tekanan. Dalam dunia yang sangat kompetitif, menjaga keseimbangan antara menunjukkan kerentanan dan mempertahankan citra profesional tetap penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun