Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Revolusi Fintech, Apakah "Cashless Society" Membuat Kita Lebih Boros?

22 September 2024   05:22 Diperbarui: 22 September 2024   15:10 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Langganan terus berlanjut, tapi apakah kamu sadar berapa banyak yang keluar? | Ilustrasi gambar: pinimg.com

Kita hidup di era yang segalanya serba digital. Tidak perlu ribet bawa dompet tebal, cukup satu tap atau scan kode QR, dan semua selesai.

Tapi tunggu dulu, bukankah semua kemudahan ini membuat kita jadi lebih boros?

Seiring dengan berkembangnya financial technology (fintech) dan semakin meluasnya penggunaan dompet digital, kita perlahan-lahan menuju apa yang disebut cashless society.

Gampang, praktis, dan cepat---sama seperti kita menghapus satu tombol saja, hilang semua transaksi! Namun, dengan semua kenyamanan ini, apakah sebenarnya ada harga tersembunyi yang mesti kita bayar?

Saat teknologi keuangan terus berevolusi, pertanyaan tentang pola pengeluaran menjadi semakin relevan. Apakah kita benar-benar mengendalikan uang kita, atau justru fintech yang ternyata mengendalikan kita?

#1. Pola Pengeluaran yang Terasa 'Ringan': Terjebak Ilusi Digital

Pernahkah kamu merasa lebih mudah mengeluarkan uang saat transaksi non-tunai? Wajar saja, karena ketika kamu tidak melihat uang fisik berpindah tangan, ada efek psikologis yang muncul: pengeluaran terasa tidak 'nyata'.

Fenomena ini dijelaskan oleh konsep pain of paying, yang menegaskan bahwa pembayaran digital cenderung mengurangi rasa 'sakit' saat kita mengeluarkan uang dibandingkan dengan transaksi tunai.

Sebuah studi oleh Prelec dan Simester (2001) menemukan bahwa orang cenderung mengeluarkan lebih banyak saat menggunakan kartu kredit atau metode pembayaran non-tunai dibandingkan dengan pembayaran tunai.

Hal ini disebabkan karena pembayaran digital memberikan kita 'jeda' atau delay dalam perasaan kehilangan uang. Padahal, pada akhirnya, uang itu tetap keluar, hanya saja kita tidak langsung merasakannya.

Bayangkan kamu sedang berada di kasir, dan dompet kamu bilang, "Aku sudah nggak punya isi, tapi tap-tap aja terus. Aku kuat!" Ironisnya, mungkin justru dompetmu yang tersenyum kecut.

Ketika uang hilang tanpa kita benar-benar 'melihat', apakah benar itu hilang? | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik
Ketika uang hilang tanpa kita benar-benar 'melihat', apakah benar itu hilang? | Ilustrasi gambar: freepik.com / freepik

 

"Money is only a tool. It will take you wherever you wish, but it will not replace you as the driver." -- Ayn Rand

(Uang hanyalah alat. Itu akan membawamu ke mana pun yang kamu inginkan, tapi uang tidak bisa menggantikanmu sebagai pengemudi.)

#2. Sistem Auto-Pay dan Subskripsi: Senjata Dua Sisi

Kamu mungkin akrab dengan layanan auto-pay yang membuat semua pembayaran berjalan otomatis---tanpa perlu repot transfer tiap bulan. Dari langganan Netflix, Spotify, hingga layanan premium aplikasi, semuanya terpotong begitu saja. Praktis memang, tapi hal ini juga bisa menjadi jebakan.

Ketika kita tidak secara aktif memikirkan uang yang keluar, kita menjadi lebih rentan terhadap pengeluaran berulang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. 

Dalam teori perilaku konsumen, ini dikenal sebagai subscription fatigue. Rasa lelah yang timbul karena terlalu banyak subskripsi yang terus berjalan tanpa kita sadari. Banyak orang baru menyadari dampak ini saat mereka mengecek rekening atau laporan bulanan.

Hal ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Dholakia (2017), yang menunjukkan bahwa pengguna layanan berlangganan sering kali tidak mengevaluasi kebutuhan mereka terhadap layanan tersebut. Artinya, kita bisa saja membayar bulanan untuk sesuatu yang jarang kita pakai! Nah, Loh.

Misalnya, langganan streaming jalan terus, tapi kamu malah nonton video gratisan di YouTube. Akhir bulan, kamu mikir, "Langganan buat apa ya? Biar dibilang kekinian?"

 

Langganan terus berlanjut, tapi apakah kamu sadar berapa banyak yang keluar? | Ilustrasi gambar: pinimg.com
Langganan terus berlanjut, tapi apakah kamu sadar berapa banyak yang keluar? | Ilustrasi gambar: pinimg.com

"If you buy things you do not need, soon you will have to sell things you do need." -- Warren Buffett

(Jika kamu membeli barang yang tidak kamu butuhkan, suatu saat kamu harus menjual barang yang kamu butuhkan.)

#3. Kemudahan Buy Now, Pay Later (BNPL): Pengeluaran yang Tidak Terasa

Satu lagi tren fintech yang cukup booming adalah Buy Now, Pay Later (BNPL). Siapa yang tidak tergoda dengan kemudahan ini? Bayar nanti, belanja sekarang! 

Konsep ini awalnya diciptakan untuk membantu orang membeli barang yang mereka butuhkan dengan lebih fleksibel. Tapi dalam praktiknya, banyak yang menggunakan fitur ini untuk hal-hal konsumtif.

Dengan BNPL, kita tidak merasa terbebani dengan pembayaran langsung, karena pembayaran dibagi menjadi beberapa cicilan ringan. Namun, ini bisa memicu apa yang disebut sebagai debt fatigue, yaitu rasa jenuh yang timbul dari akumulasi utang kecil-kecilan yang lambat laun menumpuk.

Riset oleh Fredericks dan Loewenstein (2009) menunjukkan bahwa utang kecil yang sering kali dianggap remeh justru bisa berakibat pada kesulitan finansial di kemudian hari.

Menggunakan BNPL mungkin terasa menguntungkan di awal, tetapi tanpa perencanaan keuangan yang matang, kita bisa terjebak dalam lingkaran utang tanpa kita sadari.

BNPL: Awalnya terasa ringan, tapi bisa bikin berat di akhir. | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com
BNPL: Awalnya terasa ringan, tapi bisa bikin berat di akhir. | Ilustrasi gambar: freepik.com / rawpixel.com

"A debt problem is, at its core, a management problem, not a money problem." -- Robert Kiyosaki

(Masalah utang pada dasarnya adalah masalah pengelolaan, bukan masalah uang.)

***

Kehidupan dalam cashless society memberikan banyak kemudahan, tapi di sisi lain juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam mengendalikan pengeluaran.

Saat kita tidak merasakan langsung uang yang keluar, kita lebih mudah mengabaikan dampak dari pengeluaran kecil-kecilan yang terus menerus terjadi.

Menjadi bagian dari masyarakat digital yang serba cepat memang menyenangkan, tapi kita juga harus bijak dalam menggunakan teknologi keuangan ini. 

Sama seperti teori adaptabilitas dan resilience yang dikemukakan Fredrickson (2001) dalam konteks entrepreneurship, kita perlu beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan tetap tangguh dalam menghadapi tantangan finansial yang datang bersamaan dengan kemajuan fintech.

Jadi, apakah cashless society membuat kita lebih boros? Jawabannya tergantung pada seberapa baik kita mengelola dan memahami pola pengeluaran kita. Tidak ada yang salah dengan kemajuan teknologi, selama kita tetap menjadi pengemudi yang memegang kendali atas keuangan kita sendiri.

Bagaimana dengan kamu?

Maturnuwun,

Growthmedia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun