Â
#2. Model Bisnis: Siapa yang Lebih Tangguh?
Dalam hal model bisnis, solopreneur cenderung memiliki struktur yang lebih sederhana. Mereka biasanya beroperasi dengan biaya operasional rendah karena tidak harus mengelola tim besar. Bisnis mereka bisa berjalan dengan modal minim, bahkan sering kali tanpa harus menyewa kantor. Dengan sedikit overhead, solopreneur cenderung lebih tahan menghadapi krisis dari segi pengeluaran.
Namun, hal ini juga memiliki kelemahan. Solopreneur sering kali harus mengerjakan segala sesuatunya sendiri, dari marketing hingga keuangan. Di sini, multitasking menjadi tantangan besar, terutama saat beban kerja semakin bertambah akibat krisis. Jika tidak pintar membagi waktu dan tenaga, model bisnis mereka bisa rapuh dalam menghadapi guncangan ekonomi.
Entrepreneur, sebaliknya, mungkin memiliki biaya operasional yang lebih tinggi karena mengelola tim dan infrastruktur yang lebih besar. Namun, dengan skala bisnis yang lebih besar, mereka punya lebih banyak peluang untuk bertahan. Mereka dapat mengandalkan berbagai sumber pendapatan dan memiliki lebih banyak akses ke pinjaman atau investor.
Model bisnis mereka yang lebih kompleks mungkin sulit disesuaikan dengan cepat, tetapi di sisi lain, entrepreneur biasanya memiliki tim yang bisa membantunya memikirkan solusi kreatif.
"Perang tidak dimenangkan oleh satu orang; begitu pula bisnis yang bertahan di tengah krisis. Sinergi menjadi kunci kesuksesan." (Anonim)
Â
#3. Resilience: Siapa yang Punya Daya Tahan Lebih Kuat?
Resilience atau ketangguhan adalah kemampuan untuk bangkit setelah mengalami kegagalan. Dalam dunia bisnis, krisis bukanlah hal yang aneh. Pertanyaannya, siapa yang lebih cepat bangkit?
Dalam banyak kasus, solopreneur terbukti memiliki ketangguhan yang luar biasa. Bekerja sendiri membuat mereka lebih kuat secara mental, karena terbiasa menghadapi segala tantangan tanpa bantuan tim. Namun, risiko burnout juga lebih tinggi karena semua beban bisnis ditanggung sendirian. Tanpa adanya dukungan dari tim, solopreneur harus benar-benar menjaga keseimbangan kerja dan istirahat agar tetap waras.
Entrepreneur, di sisi lain, memiliki keuntungan dari segi support system. Mereka bisa berbagi beban dengan tim, mencari masukan dari rekan kerja, atau bahkan mengalihkan sebagian pekerjaan kepada orang lain. Dengan demikian, entrepreneur cenderung memiliki daya tahan yang lebih lama karena tidak perlu menanggung semua tekanan sendirian.
Fredrickson (2001) dalam penelitiannya tentang resilience menunjukkan bahwa memiliki jaringan sosial yang kuat akan membantu seseorang untuk bangkit lebih cepat dari kegagalan. Dalam konteks ini, entrepreneur jelas memiliki keunggulan karena adanya tim yang mendukung.