Sampai kini pun masih banyak yang melontarkan serangan dan juga tangkisan kepada mereka meskipun kita yang berada dibawah ini tahu bahwa sepedas apapun pernyataan kita hal itu samasekali tidak dianggap. Terkecuali kita merupakan bagian dari tokoh publik yang kata-katanya (lebih mungkin) didengar atau dikutip media.
Anehnya, masih saja banyak yang membandel seolah diri mereka adalah para militan yang suaranya terdengarkan hingga pucuk pimpinan.
Sadar woi, para elit tidak benar-benar menjadikan kita bagian dari keluarga mereka. Kalaupun hal itu terucap dari lisan atau ketikan jari-jemari mereka sangat mungkin hal itu hanyalah gimik dan tindakan pantes-pantesan.
Semisal ada diantara Anda yang mencaci saya karena pernyataan keras saya terhadap Prabowo -- Gibran, apa untungnya itu bagi diri Anda? Apakah Anda akan mendapat promosi jabatan di tempat kerja? Saya kok ragu. Terkecuali, Anda memang orang dalam.
Saya kira, biarlah semua kritik, kekecewaan, pernyataan keras, terlontar kepada siapapun pemangku kebijakan. Kepada pemerintah. Kepada mereka yang diumumkan sebagai pemenang pilpres. Jangan kita sebagai rakyat bertindak sebagai barrier atas ketidakpuasan dari rakyat juga.
Seakan-akan kita ini sebagai rakyat cuma ribut sendiri satu dengan yang lain padahal para elitnya dengan syahdu ngopi dan buka puasa bersama. Tengok, Surya Paloh dengan Nasdem-nya terlihat melunak, bukan?
Apakah mereka bersikap kesatria ? Mungkin, bagi sebagian orang. Tapi, saya melihat bahwa pada umumnya partai politik akan berperilaku pragmatis. Tidak ada teman atau lawan abadi. Yang ada hanyalah kepentingan abadi.
Pertanyaannya, apakah itu demi kepentingan rakyat? Jika iya, maka rakyat yang mana ?
Â
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib Esais, dapat dikunjungi di agilseptiyanhabib.com