Salah satu kenangan tak terlupakan di benakku pada momen bulan suci Ramadan ini adalah saat mengikuti kegiatan Pondok Ramadan semasa masih sekolah Madrasah Ibtidaiyah di sekitaran akhir tahun 1990an. Sudah lama banget ya. Jadi ngerasa tua nih. He-he-he.
Tapi, rasanya kenangan Ramadan di masa itu masih terus membekas hingga saat ini. Menjalani momen menyenangkan ketika kesederhanaan menjadi sebuah keseharian. Jauh dari jamahan teknologi sebagaimana yang kita jumpai sekarang.
Pada masa itu, sekolahku memang rutin mengadakan acara pondok Ramadan untuk seluruh murid madrasah mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Hanya saja, untuk kelas 1 sampai kelas 4 kegiatannya berlangsung dari jam 7 pagi sampai pukul 3 sore saja. Sedangkan untuk kelas 5 dan 6 harus menginap di sekolah.
Kegiatan pondok Ramadan berlangsung kurang lebih tiga hari dua malam. Hidangan untuk berbuka puasa dan sahur tidak disediakan oleh sekolah. Melainkan mendapat kiriman dari orang tua setiap sore menjelang berbuka.
Setiap sore menjelang, mungkin sekitaran jam 4 sore ke atas, sanak kerabat berdatangan. Ada yang dijenguk oleh ibunya, bapaknya, kakak, bahkan kakek ataupun nenek. Sembari membawa perbekalan berbuka dan sahur.
Aku dan teman-teman sangat bersuka cita setiap kali momen itu tiba. Kami bisa saling lirik hidangan masing-masing. Syukur-syukur kalau ada yang bersedia untuk berbagi lauk pauk. He-he-he.
Ada satu kegiatan rutin di pondok Ramadan yang aku ikuti di madrasah, yakni kultum. Mungkin sampai sekarang pun cukup banyak yang familiar dengan istilah itu. Memang, isinya tidak jauh-jauh dari ceramah atau kajian keislaman. Pada masaku pun juga sama.
Cuma, di sekolahku kultum adalah akronim dari KULiah TUjuh Menit. Iya, sebuah kuliah singkat yang biasanya diadakan menjelang waktu berbuka, selepas tarawih, dan ba'da sholat subuh. Dan menariknya, setiap materi yang disampaikan selama kultum tersebut sebagian diantaranya akan menjadi bahan ujian di akhir kegiatan.
Jadi kami harus benar-benar serius mendengarkan atau nanti jeblok saat ujian.
Kamar Tidur di Kolong Bangku Sekolah Â
Ketika masih seumuran anak sekolah madrasah dulu, di kampungku masih populer permainan rumah-rumahan. Kami para kumpulan bocah biasanya berkumpul untuk membuat rumah-rumahan sederhana dengan empat tiang dari kayu kecil yang kami tebang dari pekarangan rumah. Pepohonan masih sangat mudah kami temukan kala itu.
Keempat tiang pancang rumah-rumahan tersebut lantas kami rangkaikan dengan beberapa batang pohon lagi untuk membuat atap dan sisi-sisi rumah hingga berdirilah bangunan kecil berbentuk kotak tidak sempurna.
Untuk menutupi sisi samping kanan kiri depan belakang rumah-rumahan yang kami bangun, kami menggunakan anyaman dari daun pohon kelapa. Kami menyebutnya blarak. Atau terkadang kami menggunakan daun pisang kering yang disebut klaras. Atau bisa juga pelepah batang pohon pisang.
Nah, hasrat serupa juga menjangkitiku dan teman-teman di sekolah madrasah semasa mengikuti pondok Ramadan. Tetapi, karena tidak mungkin membuat rumah-rumahan semacam itu di sekolah maka kami membuat rumah-rumahan dalam versi yang lain.
Aku dan teman-teman sekolah, khususnya anak-anak cowok, menata bangku-bangku sekolah dalam satu deret. Beberapa meja didempetkan satu dengan yang lain hingga terbentuk sebuah lorong dibawahnya. Sisi atas meja seolah menjadi atap dari rumah sederhana kami. Sedangkan kursi-kursi kami jadikan penutup pintu dari rumah satu kamar itu.
Sebuah kamar biasanya dibentuk dari empat buah meja yang ditata berderet. Karena mejanya cukup lebar, di kelas biasanya untuk ditempati dua orang murid, maka kolong meja itupun bisa ditempati paling banyak 2 orang.
Aku sendiri lebih suka sendirian. Karena kalau untuk ditempati dua orang rasanya cukup sesak dan kurang nyaman untuk dipakai istirahat dan tidur malam.
Kami saling bersebelah-sebelahan di bawah kolong meja. Gelap-gelapan. Memang ada lampu kelas, tapi jumlahnya cuma satu dan itupun jauh diatas. Sedangkan bagian atas kami sudah tertutup dengan barisan meja-meja.
Teman-teman kami yang cewek berada di ruang kelas sebelah. Namun, mereka tidak seperti kami anak-anak cowok. Anak-anak cewek itu cenderung tidak banyak polah. Tempat tidur mereka hanya tikar yang digelar sewajarnya. Tidur berdampingan satu dengan yang lain. Tanpa membuat rumah-rumahan kolong meja.
Kenangan Seru
Kami tidur di ruang kelas yang atapnya langsung bisa melihat genteng. Tidak ada plafon penutup langit-langit. Jendela pun banyak yang terbuka sehingga bukan hanya angin malam yang dengan mudah keluar masuk, hewan-hewan penerbang pun sebenarnya leluasa untuk berkunjung.
Tapi ,anehnya waktu itu aku merasa semua nyaman-nyaman saja. Tidak ada cerita dimana si A, si B, si C tidak bisa tidur karena dikerubungi nyamuk. Entah karena kami yang kecapekan pasca mengikuti serangkaian acara, atau memang terlalu asyik dengan kebersamaan pondok Ramadan waktu itu.
Aku pribadi juga baru terfikir kok bisa-bisanya saat itu dengan begitu nyamannya menikmati tidur malam di ruang kelas bawah kolong meja. Sedangkan saat ikut ronda di perumahan sekarang susahnya minta ampun untuk memejamkan mata gegara serangan nyamuk membabi buta.
Barangkali memang berbeda ya nyamuk di kota dan di kampung era 90an. He-he-he.
Aku tidak tahu apakah pondok Ramadan zaman sekarang masih ada yang berjalan seperti zamanku sekolah madrasah dulu. Entah apakah anak-anak sekolah sekarang bisa merasakan keseruan serupa sebagaimana yang aku alami dulu.
Bagaimanapun, Ramadan akan selalu menghadirkan kenangan bagi setiap insan di masanya. Dan inilah kenanganku. Bagaimana kenanganmu?
Â
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib Esais, dapat dikunjungi di agilseptiyanhabib.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI