Keempat tiang pancang rumah-rumahan tersebut lantas kami rangkaikan dengan beberapa batang pohon lagi untuk membuat atap dan sisi-sisi rumah hingga berdirilah bangunan kecil berbentuk kotak tidak sempurna.
Untuk menutupi sisi samping kanan kiri depan belakang rumah-rumahan yang kami bangun, kami menggunakan anyaman dari daun pohon kelapa. Kami menyebutnya blarak. Atau terkadang kami menggunakan daun pisang kering yang disebut klaras. Atau bisa juga pelepah batang pohon pisang.
Nah, hasrat serupa juga menjangkitiku dan teman-teman di sekolah madrasah semasa mengikuti pondok Ramadan. Tetapi, karena tidak mungkin membuat rumah-rumahan semacam itu di sekolah maka kami membuat rumah-rumahan dalam versi yang lain.
Aku dan teman-teman sekolah, khususnya anak-anak cowok, menata bangku-bangku sekolah dalam satu deret. Beberapa meja didempetkan satu dengan yang lain hingga terbentuk sebuah lorong dibawahnya. Sisi atas meja seolah menjadi atap dari rumah sederhana kami. Sedangkan kursi-kursi kami jadikan penutup pintu dari rumah satu kamar itu.
Sebuah kamar biasanya dibentuk dari empat buah meja yang ditata berderet. Karena mejanya cukup lebar, di kelas biasanya untuk ditempati dua orang murid, maka kolong meja itupun bisa ditempati paling banyak 2 orang.
Aku sendiri lebih suka sendirian. Karena kalau untuk ditempati dua orang rasanya cukup sesak dan kurang nyaman untuk dipakai istirahat dan tidur malam.
Kami saling bersebelah-sebelahan di bawah kolong meja. Gelap-gelapan. Memang ada lampu kelas, tapi jumlahnya cuma satu dan itupun jauh diatas. Sedangkan bagian atas kami sudah tertutup dengan barisan meja-meja.
Teman-teman kami yang cewek berada di ruang kelas sebelah. Namun, mereka tidak seperti kami anak-anak cowok. Anak-anak cewek itu cenderung tidak banyak polah. Tempat tidur mereka hanya tikar yang digelar sewajarnya. Tidur berdampingan satu dengan yang lain. Tanpa membuat rumah-rumahan kolong meja.
Kenangan Seru
Kami tidur di ruang kelas yang atapnya langsung bisa melihat genteng. Tidak ada plafon penutup langit-langit. Jendela pun banyak yang terbuka sehingga bukan hanya angin malam yang dengan mudah keluar masuk, hewan-hewan penerbang pun sebenarnya leluasa untuk berkunjung.
Tapi ,anehnya waktu itu aku merasa semua nyaman-nyaman saja. Tidak ada cerita dimana si A, si B, si C tidak bisa tidur karena dikerubungi nyamuk. Entah karena kami yang kecapekan pasca mengikuti serangkaian acara, atau memang terlalu asyik dengan kebersamaan pondok Ramadan waktu itu.
Aku pribadi juga baru terfikir kok bisa-bisanya saat itu dengan begitu nyamannya menikmati tidur malam di ruang kelas bawah kolong meja. Sedangkan saat ikut ronda di perumahan sekarang susahnya minta ampun untuk memejamkan mata gegara serangan nyamuk membabi buta.