Masa berlaku sepeda motor saya sudah mendekati kadulawarsa. Tanggal 5 Maret ini kendaraan saya akan berstatus On The Way motor bodong apabila tidak segera saya perpanjang. Sehingga sebagai seorang warga negara yang (mencoba untuk) baik, maka segala berkas kelengkapan pun segera saya upayakan. Datang ke layanan Samsat terdekat sebagai tanda itikad.
Sepeda motor saya masih menggunakan plat nomor daerah lain. Tepatnya plat nomor salah satu kawasan di Provinsi Jawa Timur (Jatim). Sedangkan hampir delapan tahun ini saya hidup dan tinggal di Tangerang. Aktivitas sehari-hari saya pun menggunakan sepeda motor yang masih berplat nomor Jatim tersebut.
Bukannya enggan untuk melakukan mutasi kendaraan dan mengganti plat nomor sepeda motor menjadi plat Tangerang, akan tetapi proses mutasi itu bukanlah sesuatu yang gratis dilakukan. Ada beban biaya yang mesti ditanggung. Sayangnya, anggaran untuk itu masih terbagi-bagi dengan kebutuhan lainnya.
Mengikuti alur birokrasi yang ada dalam rangka prosesi ganti kaleng atau perpanjangan STNK kendaraan, maka saya pun hanya bisa melakukan cek fisik bantuan di tempat saya tinggal di Tangerang. Sementara untuk pengurusan administrasi ganti kaleng dan perpanjangan STNK harus tetap dilakukan di alamat asal kendaraan.
Dengan kata lain, saya hanya melakukan cek fisik bantuan saja di layanan Samsat Tangerang untuk kemudian hasilnya saya kirimkan ke daerah asal saya di Jatim sana untuk menjalani proses berikutnya.
Sebenarnya, tahun ini bukan kali pertama saya menjalankan proses ini. Lima tahun lalu proses serupa juga saya lakukan. Cuma bedanya, lima tahun lalu saya menggunakan layanan Samsat dari lokasi yang berbeda. Bukan di kantor Samsat yang saya tuju baru-baru ini.
Prosesnya kala itu sangat mudah, cepat, dan murah. Tidak sampai 10 menit menunggu semua prosesi cek fisik bantuan sudah selesai dilakukan. Pada awalnya saya mendapat informasi kalau untuk melakukan cek fisik itu biayanya gratis, namun ternyata terkena biaya administrasi sekitar 10-20 ribu rupiah. Saya lupa-lupa ingat berapa angka pastinya lima tahun lalu.
Saya beranggapan masih wajar-wajar saja nominal itu disematkan. Mungkin untuk mengganti kertas formulir atau sebagai kompensasi untuk 'bantuan' yang sudah diberikan mengingat sepeda motor saya seharusnya tidak masuk dalam ranah teritori petugas karena terdaftar di provinsi lain.
Namun, saya cukup terkaget-kaget manakala beberapa hari lalu saya melakukan proses serupa untuk cek fisik bantuan ternyata dibebani biaya yang naik berlipat ganda. Di kantor Samsat yang berbeda ini saya harus membayar 50 ribu rupiah.
Dengan kata lain, jikalau lima tahun lalu saya membayar 10 ribu rupiah saja sekarang sudah menjadi lima kali lipatnya. Atau kalaupun dulu saya membayar 20 ribu rupiah maka kenaikannya sudah dua kali lipat lebih. Wow!
Kenaikan Tarif ?
Setelah mengeluarkan lembaran uang 50 ribu rupiah dari dompet untuk membayar biaya administrasi cek fisik kendaraan, sontak yang terpikir pertama kali di benak saya adalah perbandingan dengan harga beras.
Untuk beras kualitas biasa saja harganya mencapai Rp 12.500 per kilogram. Itupun beras dengan kualitas sangat pas-pasan. Uang 50 ribu tadi sebenarnya bisa dipakai untuk membeli 4 kilogram beras. Lumayan, apalagi belakangan harga beras memang naik gila-gilaan.
Tapi, apakah Kapolri Listyo Sigit benar-benar mengetahui hal ini ya? Apakah memang sudah masuk ke meja kerja beliau informasi perihal biaya cek fisik kendaraan yang naik signifikan itu?
Saya kok ragu ya bahwa besaran biayanya memang sebanyak itu.
Biarpun hanya membayar lima tahun sekali, apakah ada jaminan bahwa lima tahun mendatang tidak terjadi kenaikan tarif lagi? Eits, atau jangan-jangan memang ada ulah dari oknum-oknum aparat tertentu yang memang mencoba mengais tambahan rupiah untuk diri dan keluarganya ? Lumayan lho jumlahnya untuk tambahan beli beras.
Saya hanya khawatir bahwa praktik pungli itu masih belum benar-benar hilang dalam belantika pelayanan publik kita saat ini. Praktik ini seolah sudah menjadi hal yang lumrah terjadi dimana saja. Pelayanan di tingkat desa hingga layanan publik lainnya tak lepas dari hal ini.
Bagi masyarakat yang punya uang lebih dan tutup mata dengan praktik ini mungkin akan merasa biasa-biasa saja. Namun apakah itu juga berlaku bagi semua?
Apabila biaya administrasi untuk mendapatkan layanan publik semakin nirempati, tidak mustahil akan makin banyak orang yang jengah untuk taat pada aturan.
Ketika kendaraannya sudah mati surat-suratnya, akan dibiarkan. Jangan dibayangkan hanya satu dua orang yang berpikir demikian, bisa jadi ada banyak orang di luar sana yang memiliki pandangan serupa.
Salam Presisi.
Â
Maturnuwun.
Agil Septiyan Habib Esais, dapat dikunjungi di agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H