Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Demokrasi Berkelanjutan dan Perang Harga Politisi

4 Oktober 2023   13:34 Diperbarui: 5 Oktober 2023   03:07 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demokrasi perlu diupayakan aagar bisa berkelanjutan | Ilustrasi gambar : canva.com

"Jangan sampai terjebak dalam perang harga." Petuah itu cukup sering saya dengar dari para praktisi pemasaran dan branding produk melalui beberapa video di youtube dan instagram.

Perkara harga memang menempati strata pembahasan yang krusial dalam praktik bisnis apapun. Apalagi jika dikaitkan dengan konsumen yang punya kecenderungan menyukai produk berharga murah. Khususnya di kalangan kelas menengah.

Sehingga hal itupun akhirnya membuat sebagian produsen berlomba-lomba menawarkan harga terendah kepada konsumen agar supaya tertarik untuk membeli produknya sekaligus menanggalkan produk pesaing.

Padahal, ketika sebuah produk sudah menjadikan harga sebagai acuan persaingan maka mereka harus bersiap memasuki perang harga yang berdarah-darah dengan para kompetitor.

Keluhan yang saya dengar dari kolega tenaga penjualan di perusahaan tempat saya bekerja beberapa waktu lalu menegaskan hal itu.

Dia mengatakan bahwa saat ini pasar produk kami tengah mendapatkan tekanan berat dari para pesaing yang gencar menawarkan produk serupa namun harganya lebih murah.

Ketika kami menawarkan harga (misalnya) 10.000 rupiah untuk satu biji produk, pihak kompetitor menyandingkan produknya dengan harga hanya 8.500 rupiah. Netto-nya memang sedikit lebih kecil daripada produk kami, namun selisih harga yang lebih murah itu sudah cukup membuat dag dig dug tenaga pemasaran kami di daerah.

Alhasil, salah satu produk yang kami miliki pun mengalami penurunan omset cukup signifikan. Mungkin pada kisaran 10% atau bahkan lebih. Saya kurang tahu angka pastinya.

Melihat situasi tersebut, belakangan ini si bos besar tampaknya mulai panik dan sedang bersiap melakukan develop produk yang sayangnya masih berkutat pada upaya mengurangi/menambahi netto produk ataupun sebatas mengutak-atik proporsi harga jualnya saja.

Bukan kali ini saja situasi semacam itu terjadi. Peristiwa serupa juga pernah terjadi sebelum-sebelumnya.

Dengan kata lain, sebenarnya kami sedang memasuki medan perang harga yang mestinya (bisa) kami hindari. Entah hal ini disadari oleh bos besar atau tidak, yang pasti situasi perang harga ini cukup merisaukan para pelaku bisnis.

Dalam praktik perang harga siapa yang menawarkan harga lebih murah dipersepsikan akan memimpin persaingan, meski sejatinya mereka juga mengorbankan ongkos yang lebih tinggi untuk pengelolaan bisnis. Atau setidak-tidaknya mereduksi potensi profitnya sampai pada taraf mengkhawatirkan. Hal ini tentu sangat berisiko bagi keberlanjutan (sustainable) sebuah bisnis.

Value, brand, karakter, serta kualitas seharusnya lebih dikedepankan kepada konsumen sebagai daya tawar produk ketimbang harga. Sedangkan untuk harga sendiri mungkin cukup disematkan sebagai atribut pelengkap daya tawar saja.

Ongkos Politik

Disadari atau tidak, perihal perang harga ini sebenarnya juga telah menjangkiti sistem demokrasi kita. Khususnya saat pesta demokrasi menjelang. Entah itu dalam tataran pilpres, pileg, pilgub, pilbup, pilwali, bahkan hingga pilkades sekalipun.

Sudah banyak yang mengatakan bahwa ongkos politik di Indonesia itu mahal. Cak Imin (Muhaimin Iskandar) pernah nyeletuk bahwa seseorang memerlukan modal puluhan milyar untuk maju sebagai calon anggota legislatif (caleg).

Bahkan dalam tingkat pilkades di daerah sekitaran tempat kerja saya tersiar kabar bahwa pemenang kontestasi pilkades harus merogoh kocek hingga 4 miliar rupiah untuk meraup suara tertinggi. 

Posisi runner up diketahui sudah menggelontorkan modal hingga 2 milar rupiah. Sedangkan peringkat ketiga telah menghabiskan modal sekitar 1 miliar rupiah.

Jika benar seperti itu yang terjadi maka bisa dikatakan bahwa siapa yang berani membayar dengan harga lebih tinggi maka dia akan menjadi pemenang.

Nah, bukankah ini bagian dari perang harga juga?

Bedanya, dalam hal ini politisi-lah yang mengeluarkan modal. Mereka membeli kemenangannya melalui praktik politik uang dengan membayar para konstituen (butuh duit) yang mereka harapkan hak suaranya.

Dalam hal ini mereka harus bersaing dengan politisi lain yang menginginkan ceruk serupa dan berani membayar lebih tinggi atau sebaliknya.

Apabila ukurannya adalah yang berani membayar paling tinggi akan mendapatkan suara dari konstituen, maka si pemilik modal terbesar akan menjadi kandidat terdepan dalam pemenangan.

Ironisnya, hal-hal semacam inilah yang masih terus terjadi di masyarakat kita. Khususnya berkaitan dengan prosesi pemilu. Biasanya, semakin ke bawah level pemilunya maka potensi politik uang terjadi akan semakin besar.

Bahkan belum lama ini ada salah seorang calon anggota DPRD di lingkungan tempat tinggal saya yang tebar pesona merayu warga perumahan baru untuk menunjukkan KTP domisilinya dan diganti dengan beberapa kilogram beras. Bukankah ini bagian dari politik uang juga?

Sangat mungkin ketika hari pemilihan sudah dekat praktik-praktik serupa akan kembali terjadi. Bahkan lebih masif.

Ini sangat tidak sehat bagi demokrasi kita. Bukan hanya bagi masyarakat pemilih, tetapi juga untuk para kandidat yang ikut terlibat dalam pesta demokrasi pemilu segala tingkatan.

Kandidat Tenggelam

Perang harga dalam ajang pesta demokrasi akan menciptakan kerentanan pada keberlanjutan sistem demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang sustain akan sulit terjadi manakala dalam praktiknya selalu terjadi perang harga dimana yang membayar lebih tinggi berpeluang menang lebih besar.

Hal ini selain melanggengkan praktik korupsi juga menenggelamkan kandidat potensial tapi minim modal. Memubazirkan anak bangsa berkualitas karena tersingkir oleh figur-figur lain dengan sokongan finansial kuat.

Coba saja perhatikan baliho caleg yang bertebaran di pinggir jalan pusat-pusat keramaian. Ada sebagian baliho berukuran paling besar terpajang di papan reklame. Untuk memasang disana pasti butuh duit jutaan, bahkan milayaran.

Sedangkan di sisi jalan lainnya ada baliho calon yang hanya seukuran beberapa meter saja dan itupun ditopang tiang dari bambu . Belum lagi yang melakukan join baliho dimana ada dua foto atau lebih calon dalam satu banner berukuran minimalis.

Kalaupun sudah tebar pesona melalui berbagai papan iklan hal itu belum tentu menjamin keterpilihan sampai pada akhirnya bagi-bagi amplop pun dilakukan. Meski pada akhirnya hal itu juga sulit dilakukan oleh kandidat dengan modal cekak.

Tapi, apa daya inilah praktik perang harga yang terjadi dalam sistem demokrasi kita sekarang. Yakni ketika nilai-nilai yang semestinya dikedepankan dalam pemilu seperti gagasan, ideologi, program, dan komitmen justru tersisihkan oleh praktik politik uang.

Jika hal ini terus dibiarkan maka akan semakin kecil saja jumlah kandidat berkualitas yang mentas dalam persaingan pemilu. Tersisa para kandidat bermodal besar namun kualitasnya biasa-biasa saja atau bahkan bobrok karena mereka hanya memburu jabatan untuk mengembalikan modal kampanyenya atau bahkan mengejar keuntungan lebih dari jabatan yang mereka peroleh.

***

Para penyelenggara pemilu hendaknya mencari cara agar pesta demokrasi bisa berjalan secara lebih berkeadilan. Misalnya, memberlakukan modal kampanye yang sama besar untuk semua kandidat dan modal kampanye tersebut sepenuhnya ditanggung negara.

Dengan kata lain, memberikan perhatian lebih pada aspek party financing agar sumber dana pembiayaan partai menjadi lebih seimbang.

Jadi, para kandidat hanya perlu beradu gagasan, pemikiran, program, ideologi, dan sejenisnya untuk disampaikan kepada masyarakat pemilih. Bukan lagi adu modal dan perang harga.

Sepakat?

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib Esais, dapat dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun