Bagaimanapun, lembaga survei adalah bagian dari bisnis yang berorientasi profit. Melaksanakan survei juga tidak gratis. Pastilah tersirat atau bahkan tersurat kepentingan ekonomi itu dibalik setiap rilis survei yang mereka lakukan.
Publik lama-kelamaan jengah juga melihat tingkah polah lembaga survei yang seakan-akan paling ilmiah dalam mengutarakan data kepada masyarakat luas. Memang, survei adalah bagian dari metodologi ilmiah untuk membaca kecenderungan dari perilaku publik. Namun, sangat berlebihan juga apabila keinginan dua ratusan juta penduduk Indonesia hanya termanifestasi kedalam 1.200-an responden lembaga survei.
Kalau mau melakukan perbandingan jumlah responden, beberapa polling capres yang saya utarakan tadi jumlah respondennya jauh berlipat-lipat dibandingkan responden yang dipakai oleh lembaga survei. Seharusnya, jumlah responden yang lebih besar akan lebih mampu memotret kecenderungan publik, bukan?
Tanpa bermaksud mendiskreditkan atau mengampanyekan salah satu figur capres 2024 tertentu, hasil polling capres 2024 yang saya paparkan sebelumnya mungkin bisa dinarasikan sebagai bentuk perlawanan publik terhadap bombardir persepsi yang terus digaungkan oleh lembaga survei selama ini.
Seakan ingin menyatakan mosi tidak percaya terhadap hasil survei yang beredar, polling capres justru menyajikan hasil yang bisa dibilang bertolak belakang. Anies Baswedan yang oleh mayoritas lembaga survei hampir selalu ditaruh pada urutan belakang dari tiga kandidat, justru melambung tinggi menguasai berbagai versi polling capres.
Bukan Hasil Final
Apapun rilis elektabilitas lembaga survei atau hasil polling capres bukanlah hasil final dari pilpres 2024 yang baru akan ditentukan pada bulan Februari 2024 mendatang. Ini yang terpenting.
Lembaga survei seharusnya paham dengan kemunculan polling capres yang menunjukkan hasil bertolak belakang dari kajian yang mereka lakukan. Publik sudah cukup banyak belajar dari kontestasi pilpres 2014 dan 2019 yang tidak bisa dipungkiri banyak dipengaruhi oleh campur tangan lembaga survei.
Kedaulatan rakyat untuk memilih sayogyanya tidak bergantung lagi pada persepsi yang dibangun oleh lembaga survei. Lagipula apa pentingnya rilis hasil survei capres bagi masyarakat? Toh, hal itu tidak membuat perut kita kenyang. Tidak meningkatkan pendapatan kita juga (kecuali kita bekerja di sebuah lembaga survei ya).
Justru kemerdekaan berfikir dan memilih kita makin terkontaminasi oleh persepsi yang dibangun oleh rilis hasil survei.
Dan keberadaan polling capres yang tampil dengan hasil penuh kontradiksi itu seakan menjadi wujud dari ketidakpercayaan publik yang bangkit setelah sekian lama terkungkung oleh bombarbir lembaga survei.
Baca Juga :Â Koreksi Bonus Demografi