Secara umum antara survei dan polling memang memiliki kesamaan satu sama lain. Tapi survei lebih dimaksudkan untuk menggali lebih dalam tentang suatu pendapat ataupun perilaku dari individu kelompok.
Dengan kata lain, apabila kita ingin mengetahui preferensi publik terkait siapa capres 2024 yang hendak mereka pilih maka metode polling saja sudah cukup. Kecuali jika kita ingin menggali lebih dalam lagi pola dari perilaku pemilih maka metode survei diperlukan.
Berkaitan dengan polling capres 2024, selama beberapa waktu terakhir sudah cukup banyak kegiatan polling publik yang dilakukan. Diantaranya oleh program Indonesia Lawyer Club atau ILC, akun twitter CNBC Indonesia, polling twitter politisi PKS Bapak Tiffatul Sembiring, dan lain-lain.
Pada polling capres di twitter Tiffatul Sembiring tanggal 23-24 Mei 2023 misalnya, dari 20.366 vote diperoleh bahwa Anies Baswedan mendominasi dengan 82%, Ganjar Pranowo 9%, dan Prabowo Subianto 8%.
Tapi, Tiffatul Sembiring kan politis PKS? Sedangkan PKS adalah salah satu partai pengusung Anies Baswedan. Bukankah hasil polling akan bias?
Baiklah. Mari kita periksa polling capres yang diadakan oleh pihak lain. Polling capres di laman twitter CNBC Indonesia pada 2 Mei 2023 dengan melibatkan 76.692 vote juga menunjukkan Anies Baswedan mendominasi sebesar 63,4%, disusul Ganjar Pranowo dengan 21%, dan Prabowo Subianto 15,6%.
Sementara polling capres dari ILC pada tanggal 21-22 April 2023 terhadap 60.447 vote hasilnya relatif tidak jauh berbeda. Anies Baswedan masih mendominasi dengan 65%, Prabowo Subianto 19%, dan Ganjar Pranowo 16%.
Antara hasil lembaga survei dan polling capres 2024 hasilnya berbeda, bukan?
Â
Mosi Tidak Percaya
Selama beberapa tahun terkahir ini hegemoni lembaga survei memang begitu terasa dalam mempengaruhi persepsi publik berkaitan dengan pemilu. Publik disetir dan diarahkan kepada golongan tertentu.
Seolah-olah hasil pemilu sudah diproklamirkan sejak jauh-jauh hari oleh lembaga survei, tanpa kita ketahui apa sebetulnya maksud dan tujuan sebenarnya dari lembaga tersebut membombardir publik dengan elektabilitas.