Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Caleg Random, Ketika Rakyat Memilih Wakilnya dalam Ketidaktahuan

10 Juli 2023   16:00 Diperbarui: 11 Juli 2023   12:10 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caleg random merupakan kegagalan rakyat mengenali wakilnya | Sumber gambar: kompas.id

Sewaktu di madrasah dulu, sekitar penghujung tahun 90-an, ada satu mata pelajaran yang waktu itu kami anggap sebagai salah satu pelajaran tersulit di sekolah. Khususnya saat memasuki periode ujian sekolah pada pertengahan atau akhir tahun ajaran. Bahasa Arab.

Bukan semata sulit dalam menemukan jawaban dari soal ujian, bahkan untuk memahami soal-soalnya saja sudah membuat pusing kepala. Paling tidak, itulah yang sebagian dari kami rasakan waktu itu.

Seperti halnya mata pelajaran Bahasa Inggris yang semua tulisannya dilafalkan dalam kata-kata berbahasa Inggris, tingkat kerumitan pelajaran Bahasa Arab sepertinya lebih dari itu. Karena yang tertera pada lembar kertas ujian hanyalah deretan huruf dan angka aksara arab seperti yang bisa kita lihat pada lembaran-lembaran mushaf Al Quran.

"Serasa kita mau mengaji saja ini." Begitu kira-kira gumam teman sekolah saya waktu itu.

Padahal, agar bisa menjawab setiap soal ujian kami perlu tahu makna dan arti dari setiap kata berbahasa arab yang tertulis pada soal ujian.

Sebagian teman yang tergolong cakap menghafal kosakata bahasa arab mungkin tidak menghadapi banyak kesulitan. Namun, lain halnya dengan beberapa teman lain yang buruk kualitas hafalannya.

Akhirnya, "strategi pemecahan masalah" yang biasa dipergunakan oleh kelompok "kurang cakap" ini biasanya ada dua. Pertama, tengok kiri kanan melihat jawaban teman. Atau kedua, menggunakan undian.

Strategi pertama rawan diketahui pengawas. Sehingga strategi kedualah yang seringkali dipergunakan oleh kami yang sudah berputus asa untuk menemukan jawaban atas soal-soal ujian itu.

Dengan menggunakan bantuan penghapus pensil, keempat sisinya kami tuliskan huruf A, B, C, dan D mewakili huruf pada soal-soal pilihan ganda. Lalu penghapus itupun kami lemparkan seperti melempar sebuah dadu.

Huruf yang muncul pada sisi atas penghapus itulah yang menjadi rujukan kami untuk memilih jawaban dari soal-soal pilihan ganda. Sebuah jawaban random yang benar salahnya kami sendiri tidak tahu.

Meskipun jawaban kami bisa dibilang ngawur, tapi setidaknya ngawurnya masih didasarkan pada hitungan probabilistik. He-he-he.

Ahh.. Sungguh nostalgia masa kecil yang indah.. Atau...

Tapi, saya tidak sedang ingin mengulas masa-masa sekolah itu. Saya juga tidak bermaksud mengkritisi mata pelajaran tertentu. Karena yang saya khawatirkan adalah fenomena pengambilan keputusan secara random ini sepertinya juga akan dialami oleh mayoritas warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih pada pemilu tahun 2024 mendatang.

Baca juga: Koreksi Bonus Demografi

Pemilu Dalam Karung

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pemilihan umum legislatif (pileg) akan kembali menggunakan sistem proporsional terbuka merupakan kabar baik bagi demokrasi. Meskipun disisi lain hal itu juga menimbulkan kekhawatiran seiring masih rendahnya pengenalan sosok calon legislatif (caleg) di masyarakat.

Orang-orang yang memproklamirkan diri maju sebagai kandidat wakil rakyat bisa jadi tidak pernah kita kenal sama sekali. Tidak terendus namanya barang sekejap. Tiba-tiba mereka hadir dengan pajangan foto besar di pinggir jalan dan menyatakan bahwa merekalah calon wakil rakyat yang kelak akan memperjuangkan nasib kita lima tahun kedepan.

Padahal, pada lembaran surat suara biasanya terdapat lebih dari lima nama kandidat caleg yang mesti kita pilih. Jumlahnya bahkan melebihi pilihan ganda pada soal ujian Bahasa Arab semasa saya sekolah dulu.

Ironisnya, kita tidak benar-benar tahu satu per satu dari mereka. Siapa si nomor 1, si nomor 2, nomor 3, dan seterusnya. Mungkin sesekali kita menjumpai beberapa nama kandidat yang promosi lewat baliho pinggir jalan sembari menunjukkan dirinya berada pada urutan kesekian di lembar pemilihan.

Hanya saja, lebih banyak lagi dari deretan nama yang tertulis di lembar surat suara itu yang tidak kita ketahui sama sekali siapa mereka. Orang mana. Anaknya siapa. Bahkan bisa jadi sebenarnya visi misi mereka saja tidak kita ketahui.

Lantas bagaimana menentukan pilihan jikalau kita tidak memiliki wawasan apapun mengenai salah satu atau sekian kandidat yang ada?

Ujung-ujungnya rakyat hanya memilih siapa yang mendekati mereka dengan iming-iming isi amplop menjelang hari pemungutan suara. Atau mereka yang mau menerima proposal pembangunan sarana prasaranan tertentu sebagai jaminan keterpilihan.

Situasi semacam inilah yang membuat politik uang tetap langgeng dan bertahan dari waktu ke waktu. Karena rakyat hanya dihadapkan pada pilihan yang sebenarnya mereka sendiri tidak tahu. Sehingga akhirnya pilihan itupun dijatuhkan melalui mekanisme "undian" atau "contekan". Asal pilih atau mengikuti ajakan dari si empunya modal.

Pileg seperti menjadi ajang membeli kucing dalam karung yang mana semua caleg yang ada hanya segelintir saja yang dikenal oleh masyarakat luas. Caleg random yang memilihnya tidak berdasar pada kualitas yang dimiliki caleg, melainkan lebih kepada pilihan yang dijatuhkan secara asal-asalan atau semata karena bisikan keuntungan sesaat.

Minim Edukasi Publik

Apakah cuma saya saja yang merasa bahwa kita memiliki wakil rakyat hanya ketika menjelang pemilu saja? Padahal, konstitusi negara kita mengatakan bahwa wakil kita tidak sebatas hanya di gedung DPR/MPR pusat saja. Ada anggota DPD ataupun DPRD yang mana semuanya kita pilih melalui mekanisme pemilu langsung.

Jangan-jangan kita juga tidak tahu siapa-siapa saja mereka yang kini sedang duduk nyaman di atas kursi anggota dewan, yang terpilih tanpa kita sadari bahwa kita sendirilah yang memilih mereka.

Situasi ketidaktahuan publik terhadap siapa saja wakil rakyat yang kelak mewakili merupakan kesalahan besar yang sayangnya masih terus berulang dari waktu ke waktu.

Pastinya ada andil para wakil rakyat di sana, yang kurang memberikan perhatian terhadap pentingnya memberikan edukasi publik perihal pesta demokrasi. Jangankan memberi edukasi, sekadar visi misi saja tidak mereka sampaikan.

Kalau sudah begitu lantas publik harus memilih mereka berdasarkan apa? Kecantikan atau kegantengan saja? Popularitas belaka? Atau berdasarkan nilai sogokannya?

Media masa pun juga lebih banyak memberitakan elektabilitas calon presiden (capres) dan partai politik secara umum. Sementara profil caleg minim sekali mendapatkan porsi perhatian.

Tak ayal situasi tersebut akhirnya membuat publik harus berhadapan dengan caleg random dari antah berantah yang tidak kita pahami bagaimana bibit, bebet, dan bobotnya.

Sebagian orang mungkin memiliki kapasitas untuk mencari tahu sendiri siapa saja kandidat yang akan mewakilinya kelak. Tapi sepertinya mereka itu tidaklah banyak.

Mayoritas masyarakat kemungkinan akan menjatuhkan pilihan secara random atau ikut-ikutan tanpa menilai sendiri kapasitas kelayakan dari para kandidat yang hendak mereka pilih. Jika sudah begitu bisakah kita berharap nasib bangsa ini akan membaik?

Maturnuwun.

Agil Septiyan Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun