Meskipun jawaban kami bisa dibilang ngawur, tapi setidaknya ngawurnya masih didasarkan pada hitungan probabilistik. He-he-he.
Ahh.. Sungguh nostalgia masa kecil yang indah.. Atau...
Tapi, saya tidak sedang ingin mengulas masa-masa sekolah itu. Saya juga tidak bermaksud mengkritisi mata pelajaran tertentu. Karena yang saya khawatirkan adalah fenomena pengambilan keputusan secara random ini sepertinya juga akan dialami oleh mayoritas warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih pada pemilu tahun 2024 mendatang.
Baca juga: Koreksi Bonus Demografi
Pemilu Dalam Karung
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa pemilihan umum legislatif (pileg) akan kembali menggunakan sistem proporsional terbuka merupakan kabar baik bagi demokrasi. Meskipun disisi lain hal itu juga menimbulkan kekhawatiran seiring masih rendahnya pengenalan sosok calon legislatif (caleg) di masyarakat.
Orang-orang yang memproklamirkan diri maju sebagai kandidat wakil rakyat bisa jadi tidak pernah kita kenal sama sekali. Tidak terendus namanya barang sekejap. Tiba-tiba mereka hadir dengan pajangan foto besar di pinggir jalan dan menyatakan bahwa merekalah calon wakil rakyat yang kelak akan memperjuangkan nasib kita lima tahun kedepan.
Padahal, pada lembaran surat suara biasanya terdapat lebih dari lima nama kandidat caleg yang mesti kita pilih. Jumlahnya bahkan melebihi pilihan ganda pada soal ujian Bahasa Arab semasa saya sekolah dulu.
Ironisnya, kita tidak benar-benar tahu satu per satu dari mereka. Siapa si nomor 1, si nomor 2, nomor 3, dan seterusnya. Mungkin sesekali kita menjumpai beberapa nama kandidat yang promosi lewat baliho pinggir jalan sembari menunjukkan dirinya berada pada urutan kesekian di lembar pemilihan.
Hanya saja, lebih banyak lagi dari deretan nama yang tertulis di lembar surat suara itu yang tidak kita ketahui sama sekali siapa mereka. Orang mana. Anaknya siapa. Bahkan bisa jadi sebenarnya visi misi mereka saja tidak kita ketahui.
Lantas bagaimana menentukan pilihan jikalau kita tidak memiliki wawasan apapun mengenai salah satu atau sekian kandidat yang ada?
Ujung-ujungnya rakyat hanya memilih siapa yang mendekati mereka dengan iming-iming isi amplop menjelang hari pemungutan suara. Atau mereka yang mau menerima proposal pembangunan sarana prasaranan tertentu sebagai jaminan keterpilihan.