Situasi semacam inilah yang membuat politik uang tetap langgeng dan bertahan dari waktu ke waktu. Karena rakyat hanya dihadapkan pada pilihan yang sebenarnya mereka sendiri tidak tahu. Sehingga akhirnya pilihan itupun dijatuhkan melalui mekanisme "undian" atau "contekan". Asal pilih atau mengikuti ajakan dari si empunya modal.
Pileg seperti menjadi ajang membeli kucing dalam karung yang mana semua caleg yang ada hanya segelintir saja yang dikenal oleh masyarakat luas. Caleg random yang memilihnya tidak berdasar pada kualitas yang dimiliki caleg, melainkan lebih kepada pilihan yang dijatuhkan secara asal-asalan atau semata karena bisikan keuntungan sesaat.
Minim Edukasi Publik
Apakah cuma saya saja yang merasa bahwa kita memiliki wakil rakyat hanya ketika menjelang pemilu saja? Padahal, konstitusi negara kita mengatakan bahwa wakil kita tidak sebatas hanya di gedung DPR/MPR pusat saja. Ada anggota DPD ataupun DPRD yang mana semuanya kita pilih melalui mekanisme pemilu langsung.
Jangan-jangan kita juga tidak tahu siapa-siapa saja mereka yang kini sedang duduk nyaman di atas kursi anggota dewan, yang terpilih tanpa kita sadari bahwa kita sendirilah yang memilih mereka.
Situasi ketidaktahuan publik terhadap siapa saja wakil rakyat yang kelak mewakili merupakan kesalahan besar yang sayangnya masih terus berulang dari waktu ke waktu.
Pastinya ada andil para wakil rakyat di sana, yang kurang memberikan perhatian terhadap pentingnya memberikan edukasi publik perihal pesta demokrasi. Jangankan memberi edukasi, sekadar visi misi saja tidak mereka sampaikan.
Kalau sudah begitu lantas publik harus memilih mereka berdasarkan apa? Kecantikan atau kegantengan saja? Popularitas belaka? Atau berdasarkan nilai sogokannya?
Media masa pun juga lebih banyak memberitakan elektabilitas calon presiden (capres) dan partai politik secara umum. Sementara profil caleg minim sekali mendapatkan porsi perhatian.
Tak ayal situasi tersebut akhirnya membuat publik harus berhadapan dengan caleg random dari antah berantah yang tidak kita pahami bagaimana bibit, bebet, dan bobotnya.
Sebagian orang mungkin memiliki kapasitas untuk mencari tahu sendiri siapa saja kandidat yang akan mewakilinya kelak. Tapi sepertinya mereka itu tidaklah banyak.
Mayoritas masyarakat kemungkinan akan menjatuhkan pilihan secara random atau ikut-ikutan tanpa menilai sendiri kapasitas kelayakan dari para kandidat yang hendak mereka pilih. Jika sudah begitu bisakah kita berharap nasib bangsa ini akan membaik?