Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ranking Bukan Segalanya, Praktik Baik Merdeka Belajar Menuju Pendidikan Inklusif dan Berkeadilan

30 Mei 2023   22:22 Diperbarui: 30 Mei 2023   22:31 1777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto raport kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah | Sumber gambar : dokumentasi pribadi

"Waduh, bagaimana ya kalau nanti ranking di sekolah ditiadakan. Bisa ribet anak saya untuk pengajuan beasiswa ke perusahaan." Ucap Pak Budi, seorang rekan kerja saya, ketika mendengar berita sistem ranking di sekolah anaknya akan dihapus seiring berlakunya program merdeka belajar.

Pak Budi memiliki dua orang putra yang terbilang cukup berprestasi di sekolah. Mereka hampir selalu menduduki ranking dua besar di kelas sehingga berhak mendapatkan dukungan beasiswa dari perusahaan.

Kekhawatirannya bisa dipahami, meskipun kurang beralasan juga mengingat mekanisme beasiswa yang sebenarnya masih bisa disesuaikan manakala terjadi perubahan kebijakan pada bidang-bidang terkait.

Kekhawatiran justru lebih tepat diarahkan kepada anak-anaknya serta semua anak yang terbiasa memperoleh ranking di sekolah bahwasanya pada masa mendatang mereka tidak akan lagi mendapatkan ranking seiring perubahan pada sistem pendidikan.

Kilas Balik Juara Kelas

Saya cukup bisa merasakan apa yang dialami oleh para siswa yang kadung terbiasa dengan ranking karena dahulu semasa sekolah saya juga tergolong siswa yang kompetitif.

Sejak Madrasah Ibtidaiyah atau MI (setingkat Sekolah Dasar) sampai dengan SMA  prestasi sekolah saya terbilang lumayan. Ranking tiga besar di kelas hampir selalu saya dapatkan.

Menjadi utusan sekolah untuk mengikuti olimpiade sudah biasa saya alami. Menerima pujian dan apresiasi dari teman sejawat hingga para guru bukanlah hal yang asing lagi.

Memang menyenangkan sekali menjadi pusat perhatian serta mendapat puja-puji dari orang sekitar. Dipandang sebagai siswa berprestasi. Dianggap sebagai anak dengan kecerdasan mumpuni.

Bahkan pada suatu kesempatan, saya pernah menjadi satu-satunya anak di kampung saya yang berhasil kuliah tingkat sarjana di salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di negeri ini. Sehingga ucapan salut para kerabat pun tersemat pada keluarga saya waktu itu.

Keluarga sepertinya juga kadung menaruh harapan tinggi atas capaian prestasi sekolah saya. Bahkan sampai ada kesan bahwa saya harus selalu mendapatkan ranking satu di sekolah.

Pernah suatu waktu nenek saya (almarhumah) tampak begitu kecewa tatkala mendengar saya hanya menjadi ranking dua di kelas. Saya ingat sekali waktu itu masih duduk di kelas 3 MI caturwulan ke-2.

Nenek saya nyeletuk remeh, "Kok iso awakmu juara loro toh, Le? Padahal biasane kan juara siji terus. Mesti kurang sinau awakmu iki (Kok bisa kamu juara dua, Nak? Padahal biasanya juara satu terus. Ini pasti karena kamu kurang belajar.)".

Saya hanya diam mendengar celetukan nenek saya waktu itu. Meskipun dalam hati saya ingin sekali mengatakan bahwa terkadang kita bisa saja menjadi ranking satu, dua, atau bahkan tidak juara.

Setelah momen itu, setiap selesai ulangan dan mendapatkan nilai baik maka saya langsung bilang ke nenek. Tapi, entah kenapa nenek saya lebih sering menanggapi dingin. Seolah-olah beliau kecewa berat selepas saya gagal mendapatkan ranking satu di sekolah.

Maka dalam hati saya pun bertekad untuk menjadi yang terbaik lagi di kelas dengan belajar lebih giat dari sebelumnya dan tidak ingin mengecewakan keluarga.

Hingga pada momen kelas 4 MI caturwulan ke-2 sewaktu pembagian raport nama saya dipanggil dan diumumkan sebagai ranking dua lagi. Padahal saya sangat yakin saat itu saya bisa menjadi ranking satu.

Saya kecewa sekali. Bahkan beberapa hari setelahnya saya sampai jatuh sakit karena yang saya dapati di raport ternyata memang tertulis bahwa saya adalah ranking satu. Bukan ranking dua seperti diumumkan pihak sekolah sebelumnya.

Orang tua saya pun ikut melakukan komplain perihal "kekhilafan" sekolah waktu itu. Hingga kemudian pihak sekolah mengakui bahwa ternyata mereka telah melakukan kesalahan.

Namun, momen yang saya nanti-nantikan waktu itu sudah terlanjur hilang.

Foto raport kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah | Sumber gambar : dokumentasi pribadi
Foto raport kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah | Sumber gambar : dokumentasi pribadi

Ranking Bukan Segalanya

Pada masa itu SMP saya memberlakukan sistem degradasi promosi kepada seluruh siswanya. Siswa dengan nilai tertinggi akan berkumpul di kelas A, dan tiap semester pihak sekolah akan melakukan evaluasi.

Mereka yang nilainya dibawah standar akan terdegradasi ke kelas lain (B, C, D, E, dan F). Sebaliknya, siswa dari kelas lain yang nilainya mencapai standar akan mendapatkan promosi ke kelas A.

Berbeda dengan di SMP, kompetisi sewaktu di SMA lebih kepada dorongan untuk masuk ke penjurusan IPA serta keinginan untuk mendapatkan ranking di kelas.

Tapi, saya bersyukur masih bisa bersaing dengan meraih prestasi cukup baik waktu itu serta sempat beberapa kali menjadi ranking satu juga.

Dengan predikat ranking yang saya dapatkan, kala itu saya sempat merasa bahwa keadaan saya pasca lulus SMA nanti pasti akan lebih baik ketimbang teman-teman sekolah yang lain.

Namun, saya salah. Justru saya mengalami kesulitan memilih jurusan kuliah yang benar-benar sesuai bidang minat. Sementara banyak dari teman-teman lain yang cenderung lebih mudah menentukan pilihannya secara mantap.

Ada yang memutuskan kuliah di jurusan mesin, elektro, pertanian, kebidanan, dan sebagainya.

Saya sendiri justru mengalami banyak keraguan. Status sebagai penyandang ranking kelas nyatanya tidak serta merta memudahkan saya menuju jenjang pendidikan selanjutnya.

Celakanya lagi, saya tidak benar-benar tahu bidang apa sebenarnya yang saya mau. Saya tidak tahu bidang yang benar-benar menjadi passion dan potensi pribadi saya. Karena sebagai pemegang ranking kelas saya hanya terobsesi untuk pintar pada hampir semua mata pelajaran.

Hingga singkat kata, saya pun memilih bersikap pragmatis. Mengambil jurusan kuliah yang kata orang waktu itu menjanjikan peluang karir besar tanpa benar-benar tahu potensi saya dalam hal apa.

Pada titik ini saya mulai merasa bahwasanya ranking yang pernah saya dapatkan bukanlah segalanya untuk bekal menuju tahapan karir berikutnya.

Urgensi Kolaborasi

Empat tahun saya habiskan untuk menyelesaikan kuliah sampai kemudian masuk ke dunia kerja. Yang mana saya bisa bersua banyak orang dengan latar belakang berbeda-beda.

Saya melihat teman-teman yang tidak pernah ranking saat sekolah ternyata kini berhasil menempati posisi strategis dalam karir. Akan tetapi, ada juga beberapa orang dengan prestasi sekolah lumayan ternyata karirnya stagnan.

Setelah saya perhatikan lagi, mereka yang berhasil menapaki karir mapan itu umumnya adalah para pribadi yang bisa membaur, aktif berorganisasi, serta terbiasa berkolaborasi dengan orang lain.

Menurut Lilis Halim, Consultant Director Willis Tower Watson Indonesia, global skill  seperti membaur dengan lintas budaya atau berkolaborasi sangatlah diperlukan dalam dunia kerja. Bukan melulu soal ranking.

Di dalam dunia kerja kita akan menemui banyak persoalan yang harus dipecahkan. Namun, itu semua tidak harus kita sendiri yang menyelesaikan. Ada rekan kerja, atasan, serta tim yang bisa diminta bantuan dan dukungannya untuk menyelesaikan persoalan.

Melihat hal ini saya pun teringat masa-masa sekolah dulu yang cenderung acuh terhadap kegiatan-kegiatan pengasah kolaborasi semacam ini. Absen dari OSIS, memilih study oriented saat sekolah dan kuliah, serta cenderung individualistis.

Kolaborasi penting di zaman sekarang | Sumber gambar : pixabay.com / ua_Bob_Dmyt_ua
Kolaborasi penting di zaman sekarang | Sumber gambar : pixabay.com / ua_Bob_Dmyt_ua

Sekolah Tanpa Ranking

Saya bersyukur pernah memperoleh ranking di kelas semasa sekolah. Namun, andai kata bisa mengulang waktu maka saya akan memilih agar sistem ranking tersebut ditiadakan. Mengapa? Setidaknya ada empat alasan yang bisa saya utarakan disini.

#1. Menghilangkan Dikotomi Siswa Pandai Versus Bodoh

Siswa dengan ranking lima teratas biasanya digolongkan sebagai anak pandai. Sebaliknya, lima terbawah adalah anak bodoh. Padahal, setiap orang diciptakan spesial oleh Sang Pencipta dengan segala potensi masing-masing.

Berdasarkan dalil tersebut mestinya semua siswa sekolah adalah ranking satu di bidangnya. Hanya saja potensinya masih belum tergali atau belum disadari bahkan oleh pemiliknya sendiri.

Dengan kata lain, semua siswa berhak mendapatkan kesetaraan bahwa mereka adalah pribadi berpotensi.

#2. Menghapus Celah Tekanan Mengejar Ranking

Terkadang ranking cenderung menjadi alat eksistensi para orang tua dihadapan orang lain. Pamer status ranking anak kesana-kemari tanpa mau tahu apa sebenarnya yang dirasakan sang anak saat memperjuangkan predikat ranking itu.

Padahal, bukan tidak mungkin ada tekanan besar di hati sang anak dalam kegiatan belajarnya di sekolah untuk bisa meraih ranking seperti yang didambakan orang tuanya.

#3. Menciptakan Kesetaraan dan Peluang Kolaborasi

Kolaborasi lebih mungkin terjadi saat beberapa pihak memiliki kesetaraan satu dengan yang lain untuk dikompromikan.

Sebaliknya, kolaborasi akan sulit dilakukan antara si ranking satu dengan si ranking satu dari bawah karena yang terjadi justru munculnya sikap minder, pongah, gengsi, dan sejenisnya seiring tidak adanya kesetaraan diantara kedua belah pihak.

#4. Meluruskan Kembali Tujuan Pendidikan

Tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya. Sehingga yang perlu dicerdaskan adalah segenap elemen bangsa, seluruh siswa, tanpa terkecuali.

Sekolah dimaksudkan untuk mendidik semua siswa, bukan sebagian diantaranya saja. Inilah wujud dari keadilan sosial sebagaimana diamanahkan pancasila.

***

Saya melihat program merdeka belajar telah mengupayakan adanya pembelajaran berdiferensiasi sehingga mampu memberi kesempatan setiap siswa untuk mengenali bakatnya sedini mungkin.

Siswa tidak digiring untuk mempelajari dan memahami semua mata pelajaran. Justru mereka diarahkan untuk mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang ada dalam dirinya tanpa terbebani target ranking.

Sekolah tanpa ranking yang menjadi bagian dari program merdeka belajar merupakan sesuatu yang perlu dipertahankan agar semarak merdeka belajar bisa dinikmati oleh segenap putra-putri bangsa dalam rangka mendapatkan pendidikan yang sama rata sama rasa.

Penghapusan sistem ranking menjadi praktik baik dalam program merdeka belajar dan merupakan langkah penting menuju pendidikan yang inklusif serta berkeadilan sosial. Sehingga kita dapat menciptakan lingkungan di mana setiap siswa memiliki kesempatan yang setara untuk tumbuh dan berkembang.

Coba kita bayangkan sebuah masa depan di mana kolaborasi menggantikan persaingan, dan siswa diberdayakan untuk mengejar minat dan bakat mereka dengan kebebasan impian. Dalam versi ini, pendidikan bukanlah tentang mencetak peringkat, tetapi tentang membentuk individu yang mandiri, kreatif, dan berdaya saing dalam dunia yang semakin kompleks.

Maturnuwun,

Agil Septiyan Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun