Manusia adalah makhluk pekerja (homo faber), demikian dinyatakan oleh Karl Marx, seorang filsuf yang terkenal dengan ajaran Marxisme-nya. Namun, seiring maraknya gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) belakangan ini, mungkinkah privilese (keistimewaan) tersebut ikut terhempas dari dalam diri seseorang setelah terkena PHK?
Untuk menjawab hal itu penting bagi kita menengok kembali perihal esensi dari kehidupan, yakni apakah "Bekerja untuk Hidup" atau "Hidup untuk Bekerja". Mana yang paling tepat menurutmu?
Bekerja bukanlah sekadar profesi pendulang uang belaka karena sebenarnya ada dimensi lain yang bisa kita petik darinya, seperti menghasilkan karya, memberi solusi penyelesaian masalah, dan suatu pengabdian yang bernilai ibadah.
4 Dimensi Bekerja
Bekerja memiliki empat dimensi pemaknaan, yang sekaligus merupakan privilese tersendiri manakala kita memahami esensinya.
#1. Profesi Pendulang Uang
Ini merupakan dimensi yang paling umum dipahami oleh sebagian besar orang, bahwasanya bekerja adalah sebuah upaya untuk mengais pundi-pundi rupiah.
Khususnya dalam konteks menjadi anak buah yang digaji atas suatu pekerjaan yang dijalani di sebuah lembaga, korporasi, atau perusahaan tertentu.
Bekerja itu tentang bagaimana mencari uang. Apakah hal itu yang ada di benakmu? Tidak salah memang. Tetapi, itu bukanlah satu-satunya.
Setelah terkena PHK mungkin kamu menganggap bahwa hal itu sebagai akhir dari perjalananmu dalam bekerja. Padahal yang sebenarnya terhenti hanyalah kemampuanmu untuk mendulang uang dari satu jenis profesi saja.
#2. Penghasil Karya
Bekerja adalah menghasilkan suatu karya. Tentu ini berlaku bagi orang-orang yang merasa bahwa pekerjaannya lebih dari sekadar aktivitas mendapatkan penghasilan di akhir bulan.
Setiap waktu yang kamu jalani dalam bekerja adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan sesuatu. Menghasilkan karya yang bisa dinikmati oleh orang lain.