Ruang digital kita menyimpan beberapa fakta menarik yang apabila dikulik berdasarkan data statistik akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu entitas digital paling berpengaruh di dunia. Sebuah realitas yang disatu sisi memberikan peluang pemanfaatan, namun disisi lain memantik kekhawatiran akan dampaknya yang semakin merusak alam seiring emisi digital yang dihasilkan.
Dengan jumlah penduduk mencapai 275 juta jiwa yang mana 210 juta diantaranya telah menjadi pengguna internet, aktivitas digital kita termasuk yang tertinggi diantara negara-negara lain di dunia. Berdasarkan riset data.ai (State of Mobile 2023), orang Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai pengguna internet terlama harian dengan durasi 5,7 jam per hari pada tahun 2022.
Waktu tersebut bahkan meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yakni 5,4 jam per hari (2021), 5 jam per hari (2020), dan 3,9 jam per hari (2019). Bukan hal yang tidak mungkin pada tahun 2023 ini durasinya masih akan meningkat lagi.
Mengutip data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), 98,02% persen pengguna menjadikan internet untuk mengakses media sosial (medsos). Data We Are Social menyebutkan bahwa 197 menit atau sekitar 3,2 jam per hari dihabiskan orang Indonesia untuk mengakses medsos.
Adapun medsos yang paling sering diakses oleh orang Indonesia pada tahun 2022 lalu menurut survei Populix yaitu YouTube (94%), Instagram (93%), TikTok (63%), Facebook (59%), dan Twitter (54%).
Akan tetapi, untuk medsos yang paling lama dikunjungi berdasarkan data TensorTower diduduki oleh TikTok (95 menit per hari ), YouTube (74 menit per hari), Instagram (51 menit per hari), Facebook (49 menit per hari), Twitter (29 menit per hari), dan Snapchat (21 menit per hari).
Padahal, untuk setiap menit dan detik kunjungan kita kesana ada efek emisi digital yang dihasilkan. Salah satu situs perbandingan pasar yang berbasis di Australia, Compare The Market, Â memaparkan besaran emisi karbon yang dihasilkan untuk setiap menit penggunaan dari beberapa platform medsos tersebut.
TikTok memiliki emisi digital tertinggi dengan 2.63 gram emisi karbon per menit, disusul Reddit (2.48 gram per menit), Pinterest (1. 3 gram per menit), Instagram (1.05 gram per menit), Snapchat (0.87 gram per menit), Facebook (0.79 gram per menit), LinkedIn (0.71 gram per menit), Twitter(0.60 gram per menit), Twitch (0.55 gram per menit), dan Youtube (0.46 gram per menit).
Jika saya simulasikan, penggunaan TikTok selama 95 menit per hari akan menghasilkan emisi digital sebesar 249,85 gram karbon atau setara 91,20 kg karbon per tahun. Ini baru untuk satu orang. Sedangkan dari 210 juta pengguna internet di Indonesia ada 63% atau sekitar 132 juta diantaranya mengakses TikTok.
Ini berarti 12.000 ton lebih karbon dihasilkan per tahun hanya dari penggunaan TikTok saja. Belum lagi jika kita memperhitungkan penggunaan platform medsos yang lain, transaksi e-commerce, platform hiburan, transportasi online, dan sebagainya. Emisi digital di negara kita terlihat semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Akar Masalah Sumber Energi ListrikÂ
Apabila dikulik lebih jauh sebenarnya pendayagunaan internet tersebut tidak sepenuhnya berkontribusi langsung terhadap produksi emisi karbon. Akan tetapi, pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar fosil itulah yang menjadi kontributor utama emisi.
Emisi digital hanyalah figuran dibalik peran aktor utama sumber energi listrik yang masih berbasis fosil.
Menurut catatan dari Our World in Data, total produksi listrik di Indonesia pada tahun 2020 lalu 86,95% diantaranya berasal dari bahan bakar fosil. Dengan kata lain, pasokan listrik yang kita pergunakan sehari-hari untuk mengakses internet itu ternyata masih belum ramah terhadap lingkungan.
Semakin lama dan semakin sering kita mempergunakan internet maka akan semakin besar pula emisi karbon yang ditimbulkan. Semakin besar pasokan emisi karbon ke alam yang kita tinggali ini maka semakin cepat pula kerusakan dan kekacauan yang dihasilkan.
Berperilaku bijak serta cerdas dalam mempergunakan internet memang diperlukan. Hanya saja upaya tersebut tidak akan mampu berbuat banyak. Sekadar menjadi riak-riak kecil yang tidak sanggup mengusik permasalahan utamanya.
Masalah besarnya bukanlah tentang cara kita menggunakan internet, melainkan ketergantungan besar energi listrik penopang internet tersebut terhadap bahan bakar fosil.
Jika ingin membuat langkah radikal dalam hal reduksi emisi karbon dari aktivitas ruang digital maka yang mesti dilakukan adalah melakukan transisi energi dari Tidak Terbarukan menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) sesegera mungkin.
Tanpa melakukan hal itu maka upaya reduksi emisi hanya akan berakhir nihil tanpa hasil. Sangatlah sulit atau bahkan mustahil untuk mengurangi laju emisi digital sementara penggunaan internet terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan.
Ketika suatu hari nanti teknologi 4G sudah benar-benar berganti ke 5G maka penggunaan internet pasti akan meningkat semakin pesat. Dari 5G ke 6G mungkin akan gila-gilaan lagi lonjakannya. Begitu seterusnya tatkala internet mengalami evolusi dari waktu ke waktu akan dibarengi juga oleh konsumsi energi yang semakin besar.
Ketika sumber utamanya tidak beranjak dari keadaan yang sebelumnya, maka tidak akan terjadi perbaikan. Apabila sumber daya berbasis fosil masih terus diandalkan guna menopang pembangkit listrik maka bersiaplah untuk pemburukan tak berkesudahan.
EBT adalah masa depan yang harus disegerakan. Karena hanya itulah satu-satunya jalan keluar untuk mengurangi laju emisi digital yang semakin masif perkembangannya saat ini.
EBT Lebih dari Sekadar Potensi dan Wacana
Negara kita sangat kaya dengan sumber daya alam. Termasuk diantaranya sumber daya yang mampu menopang pasokan listrik segenap penghuni negeri ini secara berkelanjutan.
Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi EBT Indonesia meliputi Energi Surya (2.898 GW, terpasang 0,2 GW), Energi Angin Lepas Pantai (589 GW, terpasang 0 GW), Energi Air (94,6 GW, terpasang 6,1 GW), Energi Biomassa (43,3 GW, terpasang 1,9 GW), Energi Panas Bumi (29,5 GW, terpasang 2,1 GW), Energi Angin Daratan (19,6 GW, terpasang 0,2 GW), dan Energi Arus/Panas Laut (17,9 GW, terpasang 0 GW).
Potensi EBT yang kita miliki begitu besar, tapi baru sektiar 2,5% saja yang mampu kita berdayakan. Angka 2,5% jika dikeluarkan untuk zakat mungkin sudah masuk syarat. Namun, untuk pemanfaatkan anugrah EBT hal itu masih jauh dari kata layak.
Selama ini kita sepertinya masih sangat bangga dengan potensi besar EBT yang kita miliki. Hanya saja masih malu untuk mengakui bahwa ternyata kapasitas atau mungkin kemauan kita belum selaras dengan potensi yang ada.
Program dan wacana sepertinya sudah banyak dinarasikan melalui laman media oleh segenap pejabat publik dan pemerintah. Memberikan kita harapan bahwa energi terbarukan akan menjadi masa depan Indonesia selanjutnya. Menuntun bangsa ini berjalan menuju kebesaran yang didamba-dambakan.
Sementara hingga saat ini narasi dan wacana itu masihlah sebatas utopia belaka. Masih jauh panggang dari api. Masih dalam proses perjalanan yang entah kapan sampai ke tujuan.
Apapun hambatannya EBT itu mesti terus diupayakan untuk terwujud. Terlebih jikalau tantangan terbesarnya hanyalah perkara uang dan uang.
Mengatur Ulang Prioritas PembangunanÂ
Anda pasti sudah sering mendengar pemberitaan bahwa pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Presiden Jokowi begitu masif dilakukan. Apakah ini berarti era-era presiden sebelumnya i tidak cukup cakap mengelola pembangunan infrastruktur sebagaimana era presiden sekarang?
Saya kira ini hanyalah persoalan prioritas. Presiden Jokowi begitu masif mendorong pembangunan infrastruktur. Tapi juga harus dilihat bahwa hal itu juga memiliki risiko. Utang Indonesia di era Presiden Jokowi adalah yang terbesar dibandingkan presiden-presiden terdahulu.
Presiden yang sekarang mungkin memiliki prioritas pembangunan infrastruktur. Presiden sebelumnya mungkin lebih mengedepankan aspek yang lain. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan era kepemimpinan presiden tertentu, melainkan hanya untuk mengutarakan bahwasanya ada prioritas yang berbeda pada setiap era kepemimpinan di negara kita.
Dan terkait dengan transisi EBT ini tentunya juga memerlukan prioritas pembangunan dari para pemegang mandat rakyat di negeri ini. Bahkan sebenarnya hal itu bisa dilakukan segera tanpa harus menunggu era presiden selanjutnya.
Kita ambil contoh pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang konon kabarnya menelan biaya hingga 422 triliun rupiah. Uang sebanyak itu ketimbang dibuat untuk membangun ibukota yang dalam prosesnya mesti menebang ratusan hingga ribuan pohon serta memicu risiko permasalahan lingkungan lain, bukankah sebaiknya aliran pendanaannya dialihkan saja untuk mendukung komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) tahun 2030 terkait penggunaan EBT?
Menurut catatan Bappenas, Indonesia membutuhkan sokongan dana sekitar 167 miliar USD atau setara 2.500-an triliun rupiah untuk menopang pemberdayaan EBT ini. Dana alokasi pembangunan IKN sepertinya bisa memberikan sumbangsih pembangunan EBT agar segera terlaksana. Karena selama ini pendanaan kerapkali dijadikan kambing hitam persoalan EBT yang terkesan jalan ditempat.
Mengatur ulang prioritas pembangunan bisa jadi merupakan jalan keluar terbaik yang bisa ditempuh oleh negara kita seiring pesatnya perkembangan ruang digital di Indonesia. Sekarang tinggal memutuskan akan mendahulukan yang mana. Membangun EBT ataukah IKN?
Salam hangat.
Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H