Negara kita sangat kaya dengan sumber daya alam. Termasuk diantaranya sumber daya yang mampu menopang pasokan listrik segenap penghuni negeri ini secara berkelanjutan.
Berdasarkan laporan International Renewable Energy Agency (IRENA), potensi EBT Indonesia meliputi Energi Surya (2.898 GW, terpasang 0,2 GW), Energi Angin Lepas Pantai (589 GW, terpasang 0 GW), Energi Air (94,6 GW, terpasang 6,1 GW), Energi Biomassa (43,3 GW, terpasang 1,9 GW), Energi Panas Bumi (29,5 GW, terpasang 2,1 GW), Energi Angin Daratan (19,6 GW, terpasang 0,2 GW), dan Energi Arus/Panas Laut (17,9 GW, terpasang 0 GW).
Potensi EBT yang kita miliki begitu besar, tapi baru sektiar 2,5% saja yang mampu kita berdayakan. Angka 2,5% jika dikeluarkan untuk zakat mungkin sudah masuk syarat. Namun, untuk pemanfaatkan anugrah EBT hal itu masih jauh dari kata layak.
Selama ini kita sepertinya masih sangat bangga dengan potensi besar EBT yang kita miliki. Hanya saja masih malu untuk mengakui bahwa ternyata kapasitas atau mungkin kemauan kita belum selaras dengan potensi yang ada.
Program dan wacana sepertinya sudah banyak dinarasikan melalui laman media oleh segenap pejabat publik dan pemerintah. Memberikan kita harapan bahwa energi terbarukan akan menjadi masa depan Indonesia selanjutnya. Menuntun bangsa ini berjalan menuju kebesaran yang didamba-dambakan.
Sementara hingga saat ini narasi dan wacana itu masihlah sebatas utopia belaka. Masih jauh panggang dari api. Masih dalam proses perjalanan yang entah kapan sampai ke tujuan.
Apapun hambatannya EBT itu mesti terus diupayakan untuk terwujud. Terlebih jikalau tantangan terbesarnya hanyalah perkara uang dan uang.
Mengatur Ulang Prioritas PembangunanÂ
Anda pasti sudah sering mendengar pemberitaan bahwa pembangunan infrastruktur di era pemerintahan Presiden Jokowi begitu masif dilakukan. Apakah ini berarti era-era presiden sebelumnya i tidak cukup cakap mengelola pembangunan infrastruktur sebagaimana era presiden sekarang?
Saya kira ini hanyalah persoalan prioritas. Presiden Jokowi begitu masif mendorong pembangunan infrastruktur. Tapi juga harus dilihat bahwa hal itu juga memiliki risiko. Utang Indonesia di era Presiden Jokowi adalah yang terbesar dibandingkan presiden-presiden terdahulu.
Presiden yang sekarang mungkin memiliki prioritas pembangunan infrastruktur. Presiden sebelumnya mungkin lebih mengedepankan aspek yang lain. Saya tidak bermaksud mendiskreditkan era kepemimpinan presiden tertentu, melainkan hanya untuk mengutarakan bahwasanya ada prioritas yang berbeda pada setiap era kepemimpinan di negara kita.
Dan terkait dengan transisi EBT ini tentunya juga memerlukan prioritas pembangunan dari para pemegang mandat rakyat di negeri ini. Bahkan sebenarnya hal itu bisa dilakukan segera tanpa harus menunggu era presiden selanjutnya.