Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Migrasi Televisi Pemicu Emisi

22 Desember 2022   14:41 Diperbarui: 23 Desember 2022   09:15 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Emisi karbon menjadi sebab terganggunya keseimbangan alam | Sumber gambar : pixabay.com / sozmedia

Pagi itu sebelum berangkat ke sekolah seperti biasanya anak saya hendak menonton film kartun kesayangannya di televisi (TV). "Pilihin Nomor 8, Umi. Aku mau nonton Spongebob!".

Dengan gaya memerintah ala-ala bocil usia lima tahun ia meminta ibunya untuk menyalakan kanal televisi favorit. Tapi, ketika televisi mulai menyala ternyata tidak muncul "penampakan" gambar sama sekali. Hanya sekumpulan "semut hitam putih" yang berkerumun memenuhi layar 15 inci.

Saya baru tersadar bahwa saat itu ternyata merupakan hari peralihan atau migrasi televisi dari analog ke digital yang ditetapkan pemerintah beberapa waktu sebelumnya.

Sialnya, saya belum melakukan persiapan apapun. Televisi di rumah juga masih TV tabung biasa yang tanpa keberadaan perangkat Set Top Box (STB) menjadi tidak berguna.

Sepertinya bukan cuma saya yang mengalami situasi semacam ini. Ada cukup banyak pemilik TV lainnya yang tergopoh-gopoh menyikapi migrasi televisi digital. Sehingga STB pun menjadi salah satu peralatan elektronik paling dicari.

Menurut informasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), diperkirakan ada sekitar 22 juta rumah tangga ekonomi mampu dan 6.7 juta rumah tangga miskin yang terdampak kebijakan peralihan siaran tersebut.

Dengan demikian terdapat 28.7 juta rumah tangga yang membutuhkan penggunaan STB demi agar bisa menyaksikan siaran televisinya kembali.

Bagi para produsen STB tentu ini menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Sedangkan bagi pemerintah pemberlakuan kebijakan ini disamping menunaikan amanah undang-undang juga memberikan keuntungan efisiensi frekuensi siaran.

Diluar keharusan untuk pengadaan STB yang menambah beban pengeluaran masyarakat, sebenarnya pemberlakuan TV digital memberikan manfaat tayangan siaran yang lebih jernih serta pilihan menambah alternatif tontonan.

Akan tetapi, dibalik semua ingar-bingar itu sepertinya kita lupa bahwasanya migrasi televisi analog ke digital juga mengakibatkan emisi karbon meningkat.

Dan ini tentunya menjadi sesuatu yang kontraproduktif dengan komitmen Indonesia dalam mengusung misi Net Zero Emission (NZE) beberapa tahun mendatang.

Perangkat STB mungkin hanya membutuhkan daya sebesar 5 sampai dengan 10 Watt saja. Angka yang tampak kecil untuk disebutkan. Hanya saja kita berbicara tentang daya kecil yang akan dipakai STB untuk 28.7 juta rumah tangga se-Indonesia.

Mengutip pernyataan dari Direktur Utama PLN, Darmawan Prasojo, untuk 1 kWh listrik Indonesia yang ditopang PLTU besaran emisi CO2 yang dihasilkannya yaitu sekitar 0,85 kg.

Apabila mengacu pada hasil penelitian Nielsen Media Indonesia yang menyatakan bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan waktu 5 jam 37 menit (+/- 5.5 jam) sehari untuk menonton televisi, maka kita bisa membuat perhitungan sederhana perihal emisi karbon yang dihasilkan dari penggunaan STB ini.

Total Emisi CO2 / Hari = Emisi CO2/kWh X Total kWh X Lama Pemakaian X Jumlah Pengguna

Total Emisi CO2 / Hari = 0,85 kg/kWh X 0,005 kW (saya ambil dari daya STB terkecil dan dikonversi dari satuan Watt ke kiloWatt) X 5,5 hours X 28,7 Juta = 670.862,50 kg atau 670,86 ton CO2 per hari.

Berapa total emisi CO2 yang dihasilkan oleh penggunaan STB dalam sehari? 670,86 ton. Itu setara 20.125,88 ton dalam 30 hari (1 bulan) atau 241.510,50 ton dalam 360 hari (1 tahun).

Dan ini baru dari penggunaan STB saja. Padahal masih ada kontributor emisi gas karbon lain yang juga perlu diperhatikan. Sekadar informasi, tahun 2021 lalu jumlah emisi CO2 yang dihasilkan negara kita adalah sebesar 259,1 juta ton (dataindonesia.id).

Apa artinya? Alih-alih mereduksi pasokan emisi karbon ke atmosfer bumi, kita justru menambahnya. Komitmen NZE yang telah digembar-gemborkan itu sepertinya hanya angin lalu belaka. Sekadar janji manis untuk menarik perhatian publik sementara dalam praktiknya justru terbalik.

Dalam hal ini sebenarnya saya tidak sedang mempermasalahkan kebijakan peralihan siaran televisi dari analog ke digital, akan tetapi yang saya pertanyakan adalah tentang ketiadaan kebijakan penyeimbang atas pemberlakuan kebijakan migrasi siaran ini.

Justru yang muncul ke permukaan adalah kesediaan pemerintah membagi-bagikan STB gratisan untuk sekitar 6,7 juta warga miskin agar tetap bisa menikmati siaran televisi pasca berlakunya kebijakan tersebut. Tentu ini keputusan yang baik karena meringankan beban masyarakat agar tetap bisa menikmati hiburan.

Tapi bagaimana dengan nasib bumi yang kita tinggali? Biarpun dampaknya tidak langsung terasa namun bukan berarti bisa kita abaikan begitu saja. Karena lambat laun efeknya pasti akan terasa juga

Sebenarnya bukan cuma pemerintah yang mesti memberi perhatian atas situasi ini. Kita, alias saya dan Anda juga memiliki tanggung jawab serupa. Karena bagaimanapun juga penggunaan STB itu tetaplah untuk kepentingan kita.

Besaran emisi karbon per unit STB dengan durasi rata-rata penggunaan 5.5 jam sehari adalah 0,023375 kg (0,85 kg/kWh X 0,005 kW X 5,5 hours) atau 0,70125 kg per bulan (30 hari) atau 8,415 kg per tahun (360 hari).

Sehingga untuk menciptakan keseimbangan penetralisir emisi karbon yang kita hasilkan dari penggunaan STB maka kita perlu menghadirkan alat penyerap karbon (carbon sink) yang setara dengan jumlah tersebut.

Berdasarkan hasil riset Endes N. Dahlan berkaitan dengan daya serap pohon terhadap karbon dioksida, menanam beberapa jenis pohon seperti Trembesi (daya serap karbon 24.488,39 kg/tahun), Cassia (daya serap karbon 5.295,47 kg/tahun), Beringin (daya serap karbon 535,90 kg/tahun), sampai dengan pohon Asam Kranji (daya serap karbon 8,480 kg/tahun) bisa menjadi solusi.

Apabila setiap rumah tangga menanam satu atau beberapa jenis pohon berdaya serap karbon tinggi tersebut maka setidaknya hal itu akan membantu meringankan beban polutan yang harus ditanggung oleh bumi ini. Bahkan semakin baik jikalau kita mengonversi seluruh penggunaan energi berbasis fosil di rumah kita dengan beberapa tanaman yang harus disiapkan sebagai kompensasinya.

Terkait teknis penerapannya tolong jangan minta saya yang memikirkan.

Perlu diingat, pada saat ini dan untuk kurun waktu mendatang kita akan terus berhadapan dengan realitas bahwa alam semakin kehilangan keseimbangannya.

Bukan tugas mudah untuk mengembalikannya seperti sediakala. Butuh usaha ekstra. Dari kita selaku entitas pengguna. Pun dari pemerintah selaku pengelola.

Alam tempat tinggal kita membutuhkan tidak hanya ikrar komitmen ataupun perjanjian, melainkan juga eksekusi kebijakan yang pro pelestarian lingkungan. Migrasi televisi ini hanyalah satu dari sekian banyak kebijakan yang memberikan dampak negatif terhadap lingkungan.

Anda boleh menyangkal. Hanya saja penyangkalan itu tetap tidak ada gunanya seiring peningkatan suhu bumi yang tetap terjadi. Permukaan laut yang terus meninggi. Sementara upaya-upaya transisi energi masih terlihat jalan ditempat tanpa perkembangan yang berarti.

Jangan sampai suatu hari kita justru mendapati siaran-siaran berita televisi yang isinya adalah kegetiran tentang bumi yang tidak layak huni untuk anak cucu kita nanti.

***

Salam hangat.

Agil S Habib, Penulis Tinggal di Tangerang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun