Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Utang Kebablasan dan Niat Bayar yang Ogah-ogahan

24 November 2022   15:34 Diperbarui: 29 November 2022   15:05 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Utang adalah salah satu persoalan negara yang perlu dituntaskan | Ilustrasi gambar : pixabay.com / bluebudgie

"Pura-pura Mati Demi Hindari Penagih Utang", begitu kira-kira bunyi headline pemberitaan yang berseliweran di media masa beberapa waktu belakangan. Konyol? Memang. Tapi, perkara utang memang seringkali melahirkan aksi-aksi tak terduga.

Dan kalau ngomongin tentang utang kita mesti sadar kalau di era digital ini fasilitas utang-utangan itu memang semakin banyak aksesnya. 

Pinjaman online (pinjol) menjamur di mana-mana. Bahkan setiap kali kita menikmati tontotan youtube selalu saja terselip iklan pinjol yang tanpa lelah mengiming-imingi calon "nasabah".

Desakan kebutuhan (atau keinginan) yang tidak seimbang dengan kapasitas finansial yang dimiliki melahirkan ruang kosong yang harus ditutupi dengan sumber eksternal berupa utang.

 Sesekali dilakukan okelah. Tapi kalau berlangsung terus-menerus tanpa adanya upaya pemulihan maka hal itu akan memicu masalah.

Hasrat berutang seringkali tidak sepadan dengan komitmen untuk melunasi. Sehingga terjadilah upaya penghindaran seperti pura-pura gila, berlagak kerasukan setan, atau berakting menjadi mayat sebagaimana yang dilakukan seseorang dari Bogor itu.

Urusan utang ternyata tidak hanya menjadi domain pribadi seseorang saja. Korporasi juga melakukannya. Bahkan setara negara pun tidak lepas dari jerat serupa. Tidak peduli negara miskin ataupun kaya, persoalan utang seakan sudah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Harus diingat bahwa negara kita (Indonesia) sudah masuk ke dalam lingkaran perutangan itu. Nominal utang Indonesia cukup besar yang entah kapan bisa dituntaskan. 

Kalau mungkin Anda belum tahu, per akhir Oktober 2022 lalu jumlah hutang Indonesia kira-kira sudah mencapai Rp 7.236,61 triliun. Naik cukup pesat dibandingkan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat tahun 2014 lalu yakni pada kisaran Rp 2.608,78 triliun.

Kalau dihitung-hitung, angka tujuh ribuan triliun tersebut cukup lho untuk dipakai membangun 155 Ibu Kota Negara (IKN) baru. Tapi anehnya, pemerintah kita terkesan tenang-tenang saja menghadapi tumpukan utang sebesar itu.

Kita yang selalu mengagung-agungkan diri sebagai negara kaya nyatanya mesti berhutang demikian besar. Menjadikan kita bertanya-tanya, apakah negara kita ini memang benar-benar kaya raya? 

Ataukah ketidakbecusan para pengelola negara ini yang menjadikan kita laksana bangsa tak berpunya? Atau barangkali ada sebab lainnya?

Lebih miris lagi karena setiap kali pergantian presiden hutang kita justru semakin bertambah. Seolah tidak pernah ada upaya untuk menuntaskan utang-utang itu pada setiap masa jabatan. 

Alih-alih melunasi warisan utang pendahulu, justru menambah lagi utang yang baru.

Utang diwariskan dari presiden yang satu ke presiden beriktunya. Dengan dalih untuk pembangunan maka utang pun lantas kebablasan.

Sangat jarang atau hampir tidak pernah satupun kandidat presiden republik ini yang pada masa kampanyenya mengutarakan janji perihal strategi pelunasan utang negara. 

Tidak ada wacana tahun sekarang akan melunasi utang ke negara ini, tahun depan melunasi utang ke negara itu.

Selalu narasi-narasi yang beredar adalah tentang memajukan bangsa, mensejahterakan rakyat, menumbuhkembangkan perekonomian, dan seterusnya, dan seterusnya (meskipun realisasi hasilnya begitu-begitu juga). Sedangkan perihal hutang tidak pernah ada yang bersuara lantang.

Kalau untuk mengutarakan niat melunasi saja sudah ogah-ogahan maka bagaimana hendak menuntaskan?

"Kan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan sebagainya juga berutang. Harusnya tidak jadi masalah dong kalau Indonesia melakukannya?!". 

Anggapan inilah yang pada akhirnya menghilangkan hasrat untuk berusaha melunasi tumpukan utang tersebut. 

Jadi, dengan dalih sudah adanya izin untuk berutang mengikuti batasan yang ditentukan undang-undang lantas hal itu dijadikan tameng alasan bahwa menambah utang adalah sesuatu yang biasa.

Hal ini mungkin yang ingin saya kritik karena menjaga rasio utang tidak selalu bermakna melunasi utang yang ada. Dengan demikian para petinggi negara tersebut akan terus-menerus berutang tanpa punya misi untuk melunasi utang-utangnya.

Demi mengejar legacy rezim masing-masing lantas mengorbankan salah satu aspek penting dalam kehidupan perekonomian sebuah bangsa. 

Tidak tampak samasekali langkah menuju perbaikan dan pengurangan utang negara. Program-program yang tidak layak jalan tetap dipaksakan dengan hitung-hitungan yang "ah sudahlah".

Padahal persoalan utang ini bukanlah perkara sembarangan. Ada persoalan kedaulatan yang dipertaruhkan disana.

Ujung-ujungnya, ketika tumpukan utang semakin tak tertahankan maka mereka yang bertugas itu tinggal mengeluarkan kata-kata andalan "Itu semua demi kebaikan rakyat.". 

Lantas utang itupun dilimpahkan begitu saja agar pemimpin berikutnya yang pusing memikirkan solusi atau kembali melanjutkan pola kerja lama dengan menambah utang-utang lainnya. Entah sampai kapan.

Mungkin pemerintah kita baru akan benar-benar sadar terhadap tumpukan utang manakala para penagih berdatangan. 

Sementara pundi-pundi pendapatan dan sumber utang lainnya sudah tidak sanggup lagi menutupi. Dan ketika itu terjadi saya harap presiden tidak pura-pura mati untuk menghindari tanggung jawabnya.

Tapi presiden yang mana?

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun