Jadi, dengan dalih sudah adanya izin untuk berutang mengikuti batasan yang ditentukan undang-undang lantas hal itu dijadikan tameng alasan bahwa menambah utang adalah sesuatu yang biasa.
Hal ini mungkin yang ingin saya kritik karena menjaga rasio utang tidak selalu bermakna melunasi utang yang ada. Dengan demikian para petinggi negara tersebut akan terus-menerus berutang tanpa punya misi untuk melunasi utang-utangnya.
Demi mengejar legacy rezim masing-masing lantas mengorbankan salah satu aspek penting dalam kehidupan perekonomian sebuah bangsa.Â
Tidak tampak samasekali langkah menuju perbaikan dan pengurangan utang negara. Program-program yang tidak layak jalan tetap dipaksakan dengan hitung-hitungan yang "ah sudahlah".
Padahal persoalan utang ini bukanlah perkara sembarangan. Ada persoalan kedaulatan yang dipertaruhkan disana.
Ujung-ujungnya, ketika tumpukan utang semakin tak tertahankan maka mereka yang bertugas itu tinggal mengeluarkan kata-kata andalan "Itu semua demi kebaikan rakyat.".Â
Lantas utang itupun dilimpahkan begitu saja agar pemimpin berikutnya yang pusing memikirkan solusi atau kembali melanjutkan pola kerja lama dengan menambah utang-utang lainnya. Entah sampai kapan.
Mungkin pemerintah kita baru akan benar-benar sadar terhadap tumpukan utang manakala para penagih berdatangan.Â
Sementara pundi-pundi pendapatan dan sumber utang lainnya sudah tidak sanggup lagi menutupi. Dan ketika itu terjadi saya harap presiden tidak pura-pura mati untuk menghindari tanggung jawabnya.
Tapi presiden yang mana?
Salam hangat,
Agil S Habib