Beberapa waktu terakhir ini kehebohan besar terjadi di salah satu negara tetangga kita, Sri Langka, yang mengalami krisis ekonomi terparah pasca kemerdekaan negara tersebut.
Meskipun tidak terjadi di Indonesia (dan semoga tidak akan pernah terjadi), kondisi yang terjadi di Sri Langka sangatlah memilukan. Dimana keadaan suatu negara sampai dikatakan bangkrut akibat gagal bayar hutang luar negeri dan tidak memiliki cadangan devisa lagi untuk membeli kebutuhan pangan.
Kebetulan bahan makanan pokok disana adalah gandum, yang hanya diperoleh dari negara lain dengan cara impor. Bahan yang sama dengan yang dipakai untuk memproduksi mie instan (makanan populer di Indonesia).
Tidak bisa dibayangkan betapa mengkhawatirkannya kondisi masyarakat di negara tersebut tatkala semua harga bahan kebutuhan membumbung tinggi. Makanan sukar diperoleh. Bahan bakar langka. Dan bukan tidak mungkin akan berujung pada kekacauan besar seperti era krisis moneter di Indonesia tahun 1998 dulu.
Apalagi ketika krisis ekonomi tersebut sudah sampai mengakibatkan langkanya pasokan pangan. Kebutuhan pokok dan mendasar dari setiap orang. Tindakan nekad pun bisa saja diperbuat demi memastikan perut mereka terisi.
Apapun penyebabnya, krisis ekonomi parah yang melanda Sri Langka memberikan kita setidaknya satu pelajaran penting, yaitu tentang pentingnya kedaulatan pangan. Rakyat Sri Langka yang notabene menjadikan gandum sebagai bahan makanan pokok mereka tidak bisa berbuat banyak saat pemerintahnya tidak mampu lagi mengimpor barang tersebut. Karena gandum memang tidak mampu tumbuh dengan baik disana. Sama halnya seperti di Indonesia.
Gandum, yang belakangan semakin meningkat porsi konsumsinya di Indonesia juga sangat bergantung dari pasokan impor. Tanpa adanya impor maka segala jenis makanan yang berbahan gandum tidak akan bisa lagi diproduksi.
Di Indonesia, meskipun kebutuhan gandum terbilang besar namun kebanyakan masyrakatnya masih lebih menggemari nasi. Selama masih ada padi yang tumbuh dan beras yang dihasilkan maka tidak ada gandum bisa jadi bukan suatu masalah besar.
Bagi kita penduduk Indonesia, beras adalah yang paling utama sebagai bahan makanan. Dengan kata lain, kedaulatan pangan kita sangat dpengaruhi juga oleh kemampuan kita dalam memproduksi beras sendiri.
Tapi sayangnya, seperti yang kita ketahui bersama bahwa jumlah petani didalam negeri lambat laun semakin berkurang. Anak-anak petani pun kebanyakan lebih memilih jenis profesi lain yang tidak ada kaitannya sebagai petani. Bahkan lulusan universitas pertanian pun sebagian diantaranya enggan memilih menjadi petani.
Kalau jumlah petani semakin berkurang lantassiapa yang menanam padi? Siapa yang hendak memproduksi beras? Jika solusinya adalah impor maka kita tidak akan jauh berbeda dengan cara pemerintah Sri Langka memberi makan rakyatnya.
Sri Langka menunjukkan kepada kita betapa besar risiko yang mengintai dari mengandalkan impor sebagai pemenuh kebutuhan dalam negeri. Ketika tidak ada lagi devisa untuk mengimpor lantas rakyatnya harus bagaimana? Bagaimana juga jika negara yang mengimpor enggan melakukan impor ke kita?
Bagaimanapun juga negara-negara di dunia ini hidup berdampingan dengan negara yang lain. Namun tidak berarti juga bahwa hal-hal penting dan vital bagi keberlangsungan hidup orang banyak lantas digantungkan sepenuhnya pada negara lain. Setidaknya kita perlu berupaya untuk mempertahankan kedaulatan pada beberapa aspek penting dan vital tersebut.
Harapannya tentu agar supaya negara kita tidak menjadi Sri Langka "selanjutnya". Oleh karena itu, terobosan-terobosan baru perlu digulirkan sesegera mungkin untuk mngantisipasi setiap kemungkinan yang ada. Dan ngomong-ngomong, apa kabarnya lumbung pangan nasional?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H