Siapa yang tidak mendambakan bisa meniti karier pekerjaan di perusahaan multinasional?Â
Rasa-rasanya kita semua yang memilih jalur sebagai tenaga profesional tentu berharap bisa berada dalam suatu organisasi bisnis berkelas dunia. Menjadi bagian dari mereka dan turut menikmati kebanggaan sebagai seseorang yang beruntung berada didalamnya.
Harapan besar seperti fasilitas gaji yang memadai, jenjang karier yang jelas, atau barangkali status sosial untuk membanggakan diri tatkala ditanya oleh rekan maupun sanak kerabat bahwa dirinya bekerja di salah satu perusahaan berskala global.
Sehingga tidak mengherankan setiap kali perusahaan dengan nama-nama besar yang populer dimata para pencari kerja membuka lowongan pekerjaan maka ratusan bahkan ribuan orang berbondong-bondong ikut memperebutkannya.Â
Padahal posisi yang ditawarkan tidak lebih dari puluhan. Sehingga persaingan akan berlangsung ketat dan tidak sedikit yang tersingkirkan.
Namun adakalanya dari sebagian para pencari kerja tersebut yang justru merasa kurang percaya diri untuk sekadar mencoba mengirimkan lamaran kerjanya.Â
Untuk sebatas "apply" lowongan saja mereka begitu ragu dan merasa bahwa mencoba melamar pekerjaan di sebuah perusahaan kelas dunia hanya akan menimbulkan kekecewaan saja.
Atau kalaupun berkenan mengirimkan lamaran kerja hal itu kurang disertai dengan keyakinan bahwa ia bisa melalui setiap tahapan proses dengan sebaik mungkin. Kalah sebelum bertanding. Mental ambruk bahkan sebelum "genderan perang" ditabuh. Dan semua itu umumnya dipicu oleh beberapa hal berikut.
Sudah menjadi keyakinan umum bahwa nilai IPK seringkali dijadikan sebagai tolok ukur layak tidaknya seseorang untuk melamar kerja di perusahaan multinasional.Â
Anggapan banyak orang adalah bahwa perusahaan multinasional akan senantiasa mencari orang-orang berotak encer dan memiliki indeks prestasi yang mumpuni sebagai bukti atas pencapaian yang telah diperbuat.
Meski dewasa ini kita semakin paham bahwa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) hanyalah sebagian kecil hal yang dijadikan sebagai rujukan pertimbangan menilai kualitas diri calon pekerja.Â
Masih ada kecerdasan emosi dan juga spiritual yang melengkapi atribut kemampuan intelektual seorang calon pekerja apakah layak atau tidak menjadi bagian dari tim kerja tersebut.
Dengan demikian, seorang pencari kerja harus memiliki keyakinan bahwa meskipun ada sisi yang kurang dari dirinya (misalnya terkait IPK yang sedang-sedang saja), sebaiknya hal itu juga diimbangi dengan keterampilan atau keahlian penting lain yang mampu dijadikan nilai tambah perihal keberadaan dirinya. Sesuatu yang menjadikan kita bisa berdaya guna lebih dari orang-orang kebanyakan.
2. Almamater Pendidikan Kurang "Branded"
"Kamu lulusan Perguruan Tinggi mana?", sebuah pertanyaan yang mungkin cukup sering diajukan kepada para orang-orang baru di lingkungan tempat kerjanya.Â
Saat yang bersangkutan menjawab dengan nama-nama dari perguruan tinggi ternama maka respon dari si penanya biasanya adalah "Oh, lulusan UI ya?!", atau "Oh, jebolah UGM ya?!", atau "Oh, alumni ITS!", serta masih banyak lagi respon standar lainnya saat menerima pengakuan dari seseorang yang menunjukkan dirinya berasal dari perguruan tinggi ini dan itu.
Sementara saat jawabannya adalah nama dari perguruan tinggi kurang populer maka responnya adalah, "Di mana itu letak kampusnya?" atau "Di daerah mana kampus itu?", dan sebagainya.Â
Disisi lain, para peminat dari perusahaan multinasional umumnya adalah mereka yang berlatar perguruan tinggi populer. Dan hal ini biasanya rentan membuat seseorang minder dan kalah mental di awal.
Padahal almamater sendiri hanyalah sebuah keuntungan kecil yang tidak menentukan keseluruhan terkait layak atau tidaknya seseorang bekerja di suatu tempat. Kuncinya justru berada pada kemampuan serta keterampilan kita masing-masing.Â
Biarpun berasal dari kampus atau lembaga pendidikan ternama hal itu masih belum bisa menjamin bahwa orang-orang jebolannya akan serta merta berstatus unggul.
Lagipula kita tidak bisa mengeluhkan latar belakang pendidikan dari almamater mana kita berasal. Cukup bagi kita bertekad membuktikan bahwa meski berasal dari perguruan tinggi antah barantah sekalipun kita masih tetap mampu berbuat sesuatu yang lebih baik.
Bahkan dalam buku David and Goliath, Malcolm Gladwell menyatakan bahwa para mahasiswa di universitas dengan "grade" rendah ternyata cukup mampu bersaing dengan mahasiswa dari universits dengan "grade" yang lebih tinggi dalam hal publikasi karya.Â
Gladwell ingin mengatakan bahwa menjadi bagian dari perguruan tinggi yang kalah pamor bisa saja menjadi suatu keunggulan tersendiri karena hal itu menjadikan kita berada pada posisi nothing to lose.
3. Tidak Mahir Berbahasa Asing
Perusahaan multinasional biasanya cukup sering dikaitkan dengan keterhubungan dengan pihak-pihak asing, entah itu ekspatriat, tenaga ahli, supplier, buyer, dan lain sebagainya.Â
Konsekuensinya akan diperlukan suatu interaksi antara kita dengan mereka yang mau tidak mau akan membutuhkan bahasa perantara seperti Bahasa Inggris, Mandarin, atau semacamnya.
Biarpun internet sudah menyebar luas dan informasi dari berbagai penjuru dunia bisa diakses dari mana saja dan oleh siapa saja, hal itu masih belum bisa menjamin bahwa setiap orang akan memiliki keterampilan berbahasa asing dengan baik.Â
Barangkali keberadaan Google Translate sudah cukup membantu, tapi komunikasi tidaklah cukup di-cover dengan media penerjemah semacam itu.
Dan ketidakmahiran ini yang biasanya menjadikan seseorang paranoid untuk mencoba mengikuti seleksi penerimaan karyawaan di perusahaan multinasional. Padahal bahasa asing sendiri bukanlah bahasa utama yang dijadikan sebagai pengantar. Kalau sesekali mungkin iya. Hanya saja tidak untuk setiap hari, kecuali mungkin yang berkantor di luar negeri.
Dengan situasi semacam itu seharusnya kekurangmampuan kita menggunakan bahasa asing sepertinya tidak perlu dijadikan alasan untuk menakut-nakuti diri sendiri atau membuat kita merasa inferior dihadapan orang lain.Â
Yang terpenting bukan bahasanya, melainkan pada bagaimana menjalin komunikasi yang efektif dengan segala fasilitas yang tersedia.
4. Tingkat Persaingan Tinggi
Ada gula ada semut. Peribahasa itu sepertinya bisa menggambarkan betapa perusahaan multinasional itu akan selalu memiliki banyak peminat dengan segala pesona yang dimilikinya.
Setiap kali lowongan dibuka maka setiap kali itu pula berjubel jumlah peminatnya. Seolah-olah perusahaan semacam itu tidak perlu khawatir akan kekurangan tenaga kerja mengingat begitu banyaknya calon pekerja yang mengantre untuk bisa masuk kesana.
Bagi sebagian pencari kerja besarnya animo peminat lowongan pekerjaan di suatu perusahaan multinasional bisa menjadikan mereka gentar. Persaingannya pasti akan sangat ketat dan berat.Â
Probabilitas untuk diterima mungkin lebih kecil ketimbang probabilitas untuk ditolak. Oleh karenanya ketimbang buang-buang waktu maka tidak sedikit dari aplikan yang mengurungkan niatnya karena merasa pesimis dengan kesempatan yang ditawarkan.
Semakin banyak jumlah peminat suatu pekerjaan maka probabilitas seseorang untuk diterima kerja disana akan lebih kecil. Namun hal itu bukan berarti bahwa peluangnya akan sirna.Â
Besar kecilnya peluang tergantung pada kemampuan seseorang untuk memanfaatkan dengan sebaik mungkin peluang yang ada. Mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dan memberikan kinerja yang terbaik.
Siapa tahu setelah memberikan segenap usaha yang kita mampu ternyata justru kita yang beruntung memenangkan kesempatan tersebut. Karena bagaimanapun juga keberuntungan itu adalah saat kesiapan bertemu dengan kesempatan.Â
Banyak sedikitnya orang yang bersaing di suatu lowongan pekerjaan tidak menghilangkan suatu kesempatan yang ada. Tinggal bagaimana kita menyiapkan serta memantaskan diri bahwa peluang yang ada memang layak untuk didapatkan.
5. Terintimidasi Tim Rekrutmen
Saat mengikuti suatu proses seleksi umumnya seorang aplikan akan bersua dengan orang-orang lama yang sudah terlebih dahulu bekerja di suatu perusahaan. Mereka bertugas menjadi bagian dari tim perekrut untuk mendapatkan tenaga kerja baru.Â
Mereka juga bisa berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Namun ada satu kesamaan dari mereka semua yaitu mereka adalah para pribadi unggul yang berhasil menjadi bagian dari sebuah perusahaan multinasional
Melihat mereka mungkin bisa memicu antusiasme dan semangat untuk memenangi persaingan pada serangkaian proses seleksi. Tapi sebaliknya hal itu juga riskan mengintimidasi seseorang yang merasa bahwa dirinya terlihat masih kalah jauh dengan para pekerja yang sudah terlebih dahulu bergabung.
Terlebih ketika ada momen di mana para pekerja lama tersebut mengumbar beberapa pernyataan yang seolah ingin menegaskan bahwa mereka tidak ingin mencari pribadi-pribadi model begini dan begitu.Â
Sebuah pernyataan yang sebenarnya dimaksudkan untuk menegaskan bahwa mereka adalah sekumpulan orang-orang hebat yang saling bahu-membahu bagi keberlangsungan organisasi.
Intimidasi yang tercipta mungkin tidak terjadi secara langsung atau frontal. Beberapa hal yang tidak dengan sengaja dilakukan mungkin bagi para aplikan terasa sensitif dan bisa sangat berimbas terhadap kepercayaan diri mereka. Yang mana apabila hal tersebut tidak dikelola dengan baik maka akan berdampak negatif pada keyakinan didalam dirinya.
Untuk mengantisipasi hal ini seharusnya kita harus lebih mampu menata emosi bahwa apa yang kita lihat dan dengar dari para "calon senior" tersebut merupakan stimulus berharga yang seharusnya kita jadikan pendorong untuk memastikan diri kita agar berupaya dengan segenap kemampuan yang ada.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H