Seorang pekerja yang bertahan menjalani pekerjaan di satu tempat yang sama dalam jangka waktu lama seringkali dianggap luar biasa dalam hal loyalitas yang dimiliki.Â
Memilih untuk setia di satu tempat kerja, satu organisasi, atau satu "majikan" saja dalam kurun waktu panjang memang dinilai sebagai sebuah prestasi besar di tengah-tengah fenomena begitu gampangnya seseorang beralih pekerjaan dari satu tempat ke tempat lain, satu organisasi ke organisasi lain, serta satu majikan ke majikan yang lain.Â
Terlepas dari apapun alasan yang mendasari seseorang untuk tetap menjaga loyalitasnya, menarik untuk disimak di sini, yaitu perihal sebesar apa kebahagiaan yang dirasakan oleh orang-orang yang memilih untuk tetap loyal dibandingkan dengan mereka dengan profesi sejenis, namun cenderung menjadi "kutu loncat" yang dengan mudahnya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu organisasi ke organisasi yang lain, dan satu majikan ke majikan yang lain.
"Bahagia adalah dambaan semua orang, termasuk bagi para pekerja yang mendedikasikan diri pada profesinya. Berbagai cara ditempuh mulai dari menjadi seorang loyalis yang setia hingga menjadi kutu loncat yang suka mencoba-coba. Sementara bahagia dalam bekerja itu semata ditentukan oleh hati yang ada didalam dada."
Meskipun berpindah pekerjaan merupakan suatu hal yang lumrah dilakukan, tapi mengadopsi prinsip loyalitas kerja bagi sebagian pemilik bisnis merupakan sebuah pencapaian yang patut diapresiasi.Â
Tidak jarang beberapa organisasi memberikan reward masa kerja kepada para pekerja setianya yang telah cukup lama memberikan dedikasi tenaga, pikiran, dan energi kepada mereka. Dengan harapan bahwa loyalitas yang para pekerja tunjukkan menjadi suatu kebanggaan tersendiri.
Tapi disisi lain tidak juga menutup kemungkinan adanya loyalitas "semu", di mana kesediaan seseorang untuk bertahan di pekerjaannya saat ini dalam waktu lama adalah karena suatu keterpaksaan.Â
Mungkin terpaksa karena keterbatasan kondisi sehingga tidak memungkinkan mencoba pilihan lain seperti skill yang terbatas, usia yang lewat masa produktif, kendala ruang dan waktu, dan sejenisnya.Â
Dengan kondisi semacam itu apakah kenyamanan juga bisa mereka rasakan? Apakah loyalitas karena terpaksa keadaan mampu melahirkan perasaan bahagia?
Si Kutu Loncat Pekerjaan
Seringkali alasan yang dikemukakan oleh seseorang untuk mendasari keputusannya keluar dari pekerjaan lama menuju pekerjaan baru adalah demi memperoleh sesuatu yang lebih baik.Â
Dalam hal fasilitas, lingkungan kerja, interaksi dengan orang lain, atau mungkin prospek karir di masa mendatang. Namun kita semua tahu bahwa tidak pernah ada tempat kerja yang benar-benar menjanjikan kesempurnaan.Â
Meski belakangan kita bisa menyebut beberapa tempat kerja nyaman seperti Google atau organisasi lain yang menganut cara pengelolaan sejenis sebagai tempat impian untuk menikmati pekerjaan dengan sebagaimana mestinya.Â
Sayangnya, tidak semua tempat kerja, organisasi, atau majikan yang bersedia membayar kita mampu memberikan sepenuhnya apa yang kita mau.Â
Selalu ada celah kekurangan yang mungkin kelak akan dijadikan alasan berpindahnya seseorang dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Sehingga fenomena "kutu loncat" di mana seseorang memiliki kecenderungan lebih untuk berpindah pekerjaan akan cukup sering dijumpai.
Semakin bermasalah kondisi dari beberapa kriteria tempat kerja nyaman tadi, maka umumnya semakin besar dorongan untuk mencari-cari tempat baru dengan harapan mampu memberikan tingkat kenyamanan yang lebih baik.Â
Lalu apakah ini berarti mereka yang memiliki kecenderungan menjadi kutu loncat merupakan orang-orang yang jauh dari kebahagiaan di tempat kerja?Â
Apakah kebahagiaan kerja adalah sesuatu yang sulit untuk diperoleh sehingga membuat mereka harus terus melakukan pencarian dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain, dari satu organisasi ke organisasi yang lain, dan dari satu majikan ke majikan yang lain?
Emosi dan Kebahagiaan
Mungkinkah faktor utama yang menjadikan seseorang memperoleh kebahagiaan dalam pekerjaannya adalah "ekosistem" pekerjaan itu sendiri?Â
Mulai dari sisi manusianya, fasilitasnya, kompleksitas masalahnya, budaya kerjanya, atau ada hal lain yang lebih luas lagi. Dengan kata lain aspek eksternal diluar diri seseorang.Â
Jika memang seperti itu berarti kebahagiaan bukanlah salah satu bagian dari kehidupan ini yang bisa kita kendalikan karena faktor-faktornya ditentukan oleh mereka yang diluar diri kita.Â
Tentunya kita tidak sepakat dengan pandangan ini karena sejatinya memang kebahagiaan sebagai sesuatu yang paling didambakan dalam hidup harus bisa dijangkau semua orang apapun latar belakangnya, di mana pun mereka bekerja, serta untuk siapapun mereka mendedikasikan jasa.Â
Masalahnya bukan pada kecenderungan untuk menjadi si loyal atau si kutu loncat, melainkan bagaimana seseorang menikmati serangkaian proses yang harus dijalani. Bahkan seorang kutu loncat sekalipun akan mampu menemukan kebahagiaan dari kebiasaannya berpindah-pindah pekerjaan karena sensasi petualangan yang didapatnya dari sana. Sama halnya dengan seorang pekerja loyal yang menikmati kebahagiaan dari sikapnya menjadi seorang loyalis itu sendiri.
Sebuah Journal of Experimental Psychology berjudul The Secret of Happiness: Feeling Good or Feeling Right? Mendefinisikan bahwa kebahagiaan merupakan sebuah kondisi yang bisa diraih tatkala seseorang mengalami emosi yang diinginkan, juga merasakan emosi yang selaras dengan core value yang mereka yakini dalam kehidupan pribadi, sosial, serta budaya masing-masing individu.Â
Dengan kata lain pilihan untuk menjadi seorang pekerja loyal ataupun kutu loncat selama hal itu memicu munculnya emosi yang dimaksud maka dalam hal inilah kebahagiaan seseorang tengah diupayakan.
Cristiano Ronaldo (CR7) bisa saja dulunya memilih tetap setia kepada Sporting Lisbon saja. Tapi mungkinkah hal itu akan menjadikannya pemain hebat seperti sekarang? Begitupun dengan Lionel Messi. Dia bisa saja memilih pindah ke klub manapun di dunia ini. Namun kenyataannya ia masih setia pada klubnya saat ini, FC Barcelona.Â
Apakah di antara CR7 ataupun Lionel Messi bisa sama-sama menikmati kebahagiaan dalam karir sepakbola mereka? Sepertinya iya.Â
Mungkin kita akan mengutarakan bahwa ada cukup banyak faktor dalam upaya mengeksploitasi kebahagiaan. Padahal dalam kajian yang lebih rumit sekalipun kenyataannya menunjukkan bahwa hal itu hanya masalah memutar-balikkan emosi atau suasana hati. Siapa yang bisa mengelola emosinya secara tepat, maka dialah yang akan merengkuh nikmatnya kebahagiaan.
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H