Seringkali alasan yang dikemukakan oleh seseorang untuk mendasari keputusannya keluar dari pekerjaan lama menuju pekerjaan baru adalah demi memperoleh sesuatu yang lebih baik.Â
Dalam hal fasilitas, lingkungan kerja, interaksi dengan orang lain, atau mungkin prospek karir di masa mendatang. Namun kita semua tahu bahwa tidak pernah ada tempat kerja yang benar-benar menjanjikan kesempurnaan.Â
Meski belakangan kita bisa menyebut beberapa tempat kerja nyaman seperti Google atau organisasi lain yang menganut cara pengelolaan sejenis sebagai tempat impian untuk menikmati pekerjaan dengan sebagaimana mestinya.Â
Sayangnya, tidak semua tempat kerja, organisasi, atau majikan yang bersedia membayar kita mampu memberikan sepenuhnya apa yang kita mau.Â
Selalu ada celah kekurangan yang mungkin kelak akan dijadikan alasan berpindahnya seseorang dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain. Sehingga fenomena "kutu loncat" di mana seseorang memiliki kecenderungan lebih untuk berpindah pekerjaan akan cukup sering dijumpai.
Semakin bermasalah kondisi dari beberapa kriteria tempat kerja nyaman tadi, maka umumnya semakin besar dorongan untuk mencari-cari tempat baru dengan harapan mampu memberikan tingkat kenyamanan yang lebih baik.Â
Lalu apakah ini berarti mereka yang memiliki kecenderungan menjadi kutu loncat merupakan orang-orang yang jauh dari kebahagiaan di tempat kerja?Â
Apakah kebahagiaan kerja adalah sesuatu yang sulit untuk diperoleh sehingga membuat mereka harus terus melakukan pencarian dari satu tempat kerja ke tempat kerja yang lain, dari satu organisasi ke organisasi yang lain, dan dari satu majikan ke majikan yang lain?
Emosi dan Kebahagiaan
Mungkinkah faktor utama yang menjadikan seseorang memperoleh kebahagiaan dalam pekerjaannya adalah "ekosistem" pekerjaan itu sendiri?Â
Mulai dari sisi manusianya, fasilitasnya, kompleksitas masalahnya, budaya kerjanya, atau ada hal lain yang lebih luas lagi. Dengan kata lain aspek eksternal diluar diri seseorang.Â