Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bagaimana Seharusnya Pekerja Level Menengah Menyikapi Omnibus Law?

7 Oktober 2020   07:19 Diperbarui: 8 Oktober 2020   05:47 2462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita hanya harus memberikan kinerja terbaik dalam setiap situasi dan kondisi pekerjaan hingga hal itu membuat kita layak disebut sebagai sebuah permata. Dengan begitu kita akan tetap bersinar dan mendapatkan apresiasi terbaik dari mereka yang memahami nilai tinggi dari permata tersebut."

Di sebuah organisasi bisnis atau perusahaan umumnya terdapat suatu jabatan tertentu yang posisinya berada di tengah-tengah antara penerjemah keinginan pihak manajemen dengan para pekerja pelaksana lapangan atau yang biasa disebut buruh. 

Dalam salah satu istilah jabatan tersebut sering dikenal dengan "Manajemen Level". Yang artinya mereka menjadi kepanjangan tangan langsung dari pihak manajemen dan atau orang-orang kepercayaan perusahaan untuk merumuskan dan menginstruksikan sebuah strategi di lapangan. 

Mereka ini umumnya bukanlah tim eksekutor langsung, melainkan para pemberi perintah, pemberi instruksi, dan pemberi arahan kepada tim pelaksana. Meskipun sama-sama berstatus karyawan, namun para manajemen level tersebut memiliki "keharusan" untuk lebih berpihak kepada pengusaha dibandingkan buruh. 

Memang hal ini bukanlah sesuatu yang mutlak terjadi di tempat kerja mana pun, akan tetapi para pekerja level menengah itu merupakan "penyambung lidah" organisasi dalam mengelola sumber daya manusia (SDM) yang bertugas di ranah operasional.

Dalam banyak hal para pekerja level menengah ini dituntut untuk mampu menjembatani setiap instruksi atasan atau dengan kata lain menunaikan strategi yang dibuat oleh pihak manajemen kepada tim operasional di bawahnya sekaligus harus bisa mengakomodasi "suara" dan kepentingan tim operasionalnya tersebut. 

Kemampuan melakukan persuasi, memberikan arahan atau instruksi, teguran, dan lain sebagainya penting untuk dimiliki agar para manajemen level ini tidak dipersalahkan oleh dua entitas yang berada dibawahnya maupun yang ada diatasnya.

Apabila menyangkut aspek teknis pekerjaan, relasi di antara para karyawan apapun levelnya mungkin lebih mudah dikoordinasikan dan dikondisikan. Akan tetapi ketika sudah memasuki ranah yang lebih "rawan" dan "kritis" seperti misalnya terkait pengesahan Omnibus Law sikap para manajemen level ini bisa menjadi buah simalakama bagi dirinya sendiri. 

Kecenderungan fungsi tugasnya yang merupakan representasi pemilik bisnis tentu membuatnya berada pada posisi yang bersepakat dengan pengesahan Omnibus Law. Bagaimanapun juga undang-undang tersebut bisa dibilang bersahabat dengan pengusaha dan sebagai golongan manajemen level seharusnya mendukung hal itu. 

Di sisi lain, biarpun berstatus manajemen level mereka ini tetaplah juga karyawan pada umumnya yang dibayar gajinya berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Demikian juga peraturan kerja yang lain seperti cuti, pesangon, dan sejenisnya juga turut terikat dengan peraturan yang ada. 

Ketika peraturan yang dibuat dinilai merugikan para pekerja, maka termasuk juga manajemen level akan menjadi bagian dari mereka yang dirugikan tersebut. Lantas apakah dengan kondisi semacam itu para pekerja level menengah tetap harus berpihak pada pengusaha atau kepada buruh yang memperjuangkan dirinya?

Positioning

Ketika demonstrasi penuntutan kenaikan upah tengah gencar dijalankan, umumnya para manajemen level tidak turut berperan serta di dalamnya. Bahkan mereka ini tidak terlibat dalam serikat pekerja di tempat kerjanya masing-masing. 

Demikian juga ketika Omnibus Law ramai dipertentangkan beberapa waktu terakhir ini. Para pekerja level menengah ke atas hanya menjadi penonton. Kalaupun ada yang ikut terjun mengaspirasikan suaranya barangkali jumlahnya sangatlah sedikit. Terbatas. 

Dengan diketok palunya Undang-Undang Omnibus Law ini maka mau tidak mau, suka tidak suka, semua yang berstatus pekerja tetap harus menerima efek dan konsekuensinya.

Efeknya mungkin tidak "separah" pekerja level bawah yang umumnya bergaji UMR itu. Meskipun begitu tetap saja ada sisi yang tidak menyenangkan dari hal ini. 

Ambil contoh terkait kontroversi cuti melahirkan yang kabarnya tidak akan mendapatkan gaji selama periode cuti diambil (no work no pay). Biarpun karyawan pengambil cuti melahirkan berstatus level menengah ke atas tetap saja rasanya akan menyesakkan tatkala tidak mendapatkan gaji padahal dirinya cuti oleh sebab yang "luar biasa". Bukankah itu terasa menyakitkan?

Para pekerja level menengah ke atas itu memang bisa dibilang sebagai representasi pengusaha. Pun mereka sebenarnya juga merupakan bagian dari karyawan atau pekerja yang digaji sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Terkait dengan hal ini maka bagaimana seharusnya kita bersikap? Pada dasarnya ada banyak hal di luar sana yang tidak bisa kita kendalikan secara penuh. Di luar sana banyak sekali penentuan sesuatu yang amat dipengaruhi oleh kekuatan orang lain. Dengan kata lain ada banyak sekali hal-hal di luar sana yang tidak dalam kendali kita. 

Yang harus kita lakukan sebenarnya hanyalah berfokus pada apa yang bisa kita lakukan saja dengan cara yang terbaik. Apabila di dalam benak kita ada ketidaksetujuan dengan Omnibus Law padahal kita adalah bagian dari karyawan yang terkena efeknya, maka apabila ada kesempatan mengikuti aksi dan hal itu bisa dilakukan tanpa melanggar aturan maka sah-sah saja melakukannya. 

Namun ketika kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan hal itu maka cukuplah untaian doa kita sebagai representasi hal itu. Lebih dari itu semua, kita hanya harus tetap bekerja sebaik mungkin dan tetap mendedikasikan produktivitas kerja terbaik dalam setiap kesempatan. 

Kita harus tetap menjadi permata dalam pekerjaan yang kita jalani.

Sebuah permata, dimanapun ia berada akan tetap menjadi permata. Dan saat tiba waktunya nanti permata itu akan ditempatkan pada tempat yang layak atas kualitasnya. 

Mengkhawatirkan pesangon? Wajar. Merisaukan gaji? Lumrah. Takut tidak dibayar? Sah-sah saja. Namun kita jangan sampai lupa bahwa gaji itu berbeda dengan rezeki. Rezeki kita sudah diatur oleh-Nya. 

Kita harus berupaya apapun dalam batas dan kapasitas yang kita miliki. Mereka yang berjuang melalui demonstrasi meyakini itulah ikhtiar mereka. Sedangkan mereka yang tidak turut serta dalam aksi pasti juga memiliki caranya sendiri untuk mengikhtiarkan setiap harapan mereka. 

Dan untuk saat ini khususnya para manajemen level harus memposisikan dirinya sebagai orang-orang yang tetap berusaha memberikan yang terbaik dalam profesinya kapanpun dan bagaimanapun kondisi yang terjadi.


Salam hangat,

Agil S Habib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun