Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Bagaimana Seharusnya Pekerja Level Menengah Menyikapi Omnibus Law?

7 Oktober 2020   07:19 Diperbarui: 8 Oktober 2020   05:47 2462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Positioning

Ketika demonstrasi penuntutan kenaikan upah tengah gencar dijalankan, umumnya para manajemen level tidak turut berperan serta di dalamnya. Bahkan mereka ini tidak terlibat dalam serikat pekerja di tempat kerjanya masing-masing. 

Demikian juga ketika Omnibus Law ramai dipertentangkan beberapa waktu terakhir ini. Para pekerja level menengah ke atas hanya menjadi penonton. Kalaupun ada yang ikut terjun mengaspirasikan suaranya barangkali jumlahnya sangatlah sedikit. Terbatas. 

Dengan diketok palunya Undang-Undang Omnibus Law ini maka mau tidak mau, suka tidak suka, semua yang berstatus pekerja tetap harus menerima efek dan konsekuensinya.

Efeknya mungkin tidak "separah" pekerja level bawah yang umumnya bergaji UMR itu. Meskipun begitu tetap saja ada sisi yang tidak menyenangkan dari hal ini. 

Ambil contoh terkait kontroversi cuti melahirkan yang kabarnya tidak akan mendapatkan gaji selama periode cuti diambil (no work no pay). Biarpun karyawan pengambil cuti melahirkan berstatus level menengah ke atas tetap saja rasanya akan menyesakkan tatkala tidak mendapatkan gaji padahal dirinya cuti oleh sebab yang "luar biasa". Bukankah itu terasa menyakitkan?

Para pekerja level menengah ke atas itu memang bisa dibilang sebagai representasi pengusaha. Pun mereka sebenarnya juga merupakan bagian dari karyawan atau pekerja yang digaji sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. 

Terkait dengan hal ini maka bagaimana seharusnya kita bersikap? Pada dasarnya ada banyak hal di luar sana yang tidak bisa kita kendalikan secara penuh. Di luar sana banyak sekali penentuan sesuatu yang amat dipengaruhi oleh kekuatan orang lain. Dengan kata lain ada banyak sekali hal-hal di luar sana yang tidak dalam kendali kita. 

Yang harus kita lakukan sebenarnya hanyalah berfokus pada apa yang bisa kita lakukan saja dengan cara yang terbaik. Apabila di dalam benak kita ada ketidaksetujuan dengan Omnibus Law padahal kita adalah bagian dari karyawan yang terkena efeknya, maka apabila ada kesempatan mengikuti aksi dan hal itu bisa dilakukan tanpa melanggar aturan maka sah-sah saja melakukannya. 

Namun ketika kita tidak memiliki kekuatan untuk melakukan hal itu maka cukuplah untaian doa kita sebagai representasi hal itu. Lebih dari itu semua, kita hanya harus tetap bekerja sebaik mungkin dan tetap mendedikasikan produktivitas kerja terbaik dalam setiap kesempatan. 

Kita harus tetap menjadi permata dalam pekerjaan yang kita jalani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun