Di sinilah terdapat benturan kepentingan itu. Yaitu ketika produk baik adalah keharusan, tapi produk buruk memberikan keuntungan pribadi.
2. Saling Sikut antar Karyawan untuk Menjadi "Agen" yang Bekerjasama dengan Perusahaan
Jumlah barang-barang yang perlu dijual oleh sebagian karyawan itu tentu jumlahnya tidak seberapa. Mengingat namanya adalah barang sisa, barang reject, barang KW II, atau sejenisnya. Tidak ada satupun perusahaan yang menginginkan kualitas buruk pada barang-barang hasil produksinya. Waste semacam itu jelas sesuatu yang harus dihindari.
Apabila ada produk dengan kriteria tersebut yang ternyata dihasilkan dari sebuah operasional perusahaan, maka tentunya hanya segelintir orang saja yang bisa turut terjun mengambil peluang keuntungan darinya. Hal ini sangat berisiko memunculkan friksi antar karyawan yang sama-sama mengharapkan keuntungan ekonomis atas barang-barang yang jumlahnya terbatas tadi.Â
Ketika seseorang mendapatkan kesempatan itu sedangkan yang lain tidak, bukan tidak mungkin akan muncul rasa iri didalam benak karyawan lainnya.
Apabila tensi semakin tinggi, potensi saling sikut dan saling menyingkirkan satu sama lain bisa saja terjadi. Apabila situasi semacam ini terjadi maka kondusivitas lingkungan kerja akan sangat terganggu.
3. Ancaman Kerusakan Brand Produk Milik Perusahaan
Menjual produk dengan brand yang sama tapi dengan mutu yang berbeda jelas akan menimbulkan penafsiran berbeda bagi publik penggunanya. Tidak sedikir produk-produk terkategori KW II hanya mengalami sedikit masalah pada hal-hal yang tidak terlalu berpengaruh pada performa produk tersebut secara keseluruhan.Â
Mungkin kandungan didalamnya masih bernilai tinggi, tapi kemasannya saja yang kurang sempurna. Atau atau sedikit selisih jumlah pada isinya. Hal itu apabila tidak diperlakukan secara hati-hati dalam peredarannya maka akan risakan merusak "nama baik" sebuah brand.
Untuk mengatisipasinya perlu adanya batasan tertentu dalam penjualan barang-barang dengan kualitas dibawah standar. Peredarannya harus dikendalikan agar tidak "menyaingi" peredaran produk utama yang menjadi andalan. Hal ini tentunya bisa diatur oleh kebijakan masing-masing perusahaan. Jangan asal terburu nafsu lantas melupakan potensi buruk yang bisa saja ditimbulkannya.