Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Antara Sumringah dan Gelisah Saat Vaksin Anti Covid-19 Uji Klinis di Indonesia

21 Juli 2020   15:21 Diperbarui: 21 Juli 2020   15:17 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi vaksin COVID-19 | Sumber gambar : www.cnnindonesia.com / iStockphoto

Pemerintah Republik Indonesia (RI) menjalin kerjasama dengan pihak China terkait upaya pengadaan vaksin antivirus corona COVID-19 baru-baru ini. 

Dikabarkan, vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac Life Sciences Corp tersebut telah tiba di Indonesia dan bakal dilakukan uji klinis oleh Bio Farma. Vaksin tersebut sudah berhasil melalui uji klinis fase I dan fase II sehingga tinggal selangkah lagi untuk memasuki tahap produksi masal. 

Direktur Utama Bio Farma, Honesti Basyir, menyatakan bahwa uji klinis tahap II akan dilakukan mulai bulan Agustus 2020 dan berjalan selama rentang waktu 6 bulan. Jikalau uji klinis vaksin berjalan lancar maka pada kuartal I 2021 mendatang produksi masal vaksin sudah bisa dilakukan.

Hal ini mungkin bisa dibilang sebagai kabar baik untuk melihat titik terang penuntasan pandemi COVID-19 di Indonesia. Apalagi jika kita membandingkannya dengan progres pengembangan vaksin yang dilakukan oleh konsorsium nasional bentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

Dalam proyek ini Bio Farma juga turut terlibat terkait upaya pengembangan vaksin bersama dengan Eijkman Institute, beberapa kementerian serta institusi penunjang, dan beberapa perguruan tinggi. Konsorsium ini masih baru akan menyelesaikan klon prototipe pada Februari 2021 mendatang. 

Sebagai informasi, klon prototipe adalah "awal" dari pembuatan vaksin. Uji pra klinis diperkirakan baru bisa dimulai kuartal II tahun 2021, sedangkan uji klinis baru siap di kuartal III 2021. 

Dengan catatan semua prosesnya berjalan lancar, maka paling cepat vaksin buatan dalam negeri ini baru akan tersedia untuk masyarakat pada kuartal I tahun 2022 hingga pertengahan 2022. 

Bisa dibilang rentang waktu perbedaannya cukup jauh dengan vaksin hasil pengembangan yang dilakukan oleh Sinovac. Lantas masuknya vaksin dari China untuk uji klinis tahap III di Indonesia ini apakah bisa disebut sebagai sebuah kabar baik? Apakah kita harus merasa sumringah menanggapi berita ini? Atau hal ini justru membuat kita gelisah?

Sisi Lain Vaksin

Uji klinis vaksin memang berpotensi mengusik sisi sensitif apabila narasinya "dipelintir" sedikit saja. Uji klinis bagaimanapun merupakan salah satu fase yang mesti dilalui untuk melahirkan sebuah vaksin teruji yang ampuh dipergunakan untuk mengatasi sebuah infeksi wabah penyakit. 

Hanya saja hal itu juga bisa dipahami secara berbeda sebagai upaya kesewenang-wenangan beberapa kelompok yang dengan mudahnya menjadikan manusia sebagai kelinci percobaan. 

Kontroversi perihal sisi sensitif ini pernah dikupas oleh jurnalis dari media Aljazeera, Karsten Noko, yang menilai bahwa ada potensi terjadinya kolonialisme medis dalam upaya pengujicobaan sebuah vaksin yang dikembangkan oleh sebuah lembaga farmasi tertentu. 

Noko menilai bahwa ada beberapa sekelompok manusia yang sebenarnya diperlakukan tak lebih dari bahan uji coba dalam rangka mengeruk keuntungan dari bisnis vaksin yang kelak diperjualbelikan oleh korporasi pengembangnya. Sedangkan orang-orang yang menjadi objek uji coba tersebut banyak yang tidak tahu potensi bahaya yang mengintainya.

Kekhawatiran lain terkait misi terselubung keberadaan vaksin anti virus COVID-19 juga ramai dibahas sebagian kalangan seiring merebaknya isu konspirasi ID2020 dimana kalangan globalis mempunyai misi untuk melakukan vaksinasi antivirus sekaligus menanamkan sebuah microship digital kedalam tubuh manusia. 

Narasinya adalah untuk melakukan pantauan terhadap orang-orang yang sudah menerima vaksin dan untuk memantau perkembangan kondisi dirinya. Namun hal ini juga bisa dinilai sebagai upaya untuk memiliki kendali atas individu-individu yang menerima suntikan vaksin didalam dirinya.

Lantas apa hubungan kedua hal ini dengan uji klinis vaksin Sinovac di Indonesia? Sederhana. Vaksin tersebut adalah produk impor, hasil karya bangsa lain, dan kita belum benar-benar tahu apa kandungan yang terdapat didalamnya. Mungkin korporasi pembuatnya ingin mencari objek percobaan "gratis" untuk menguji kemampuhan produknya tersebut. 

Apabila berhasil, mungkin kelak kita masih harus membayar untuk mendapatkan vaksin tersebut. Belum lagi kalau misalnya ada microchip canggih yang "terselip" masuk kedalam tubuh kita melalui vaksin itu.

Perlu Kejelian dan Kehati-hatian

Kerja sama pengembangan vaksin ini dilakukan sebagai upaya untuk mempercepat penuntasan pandemi di Indonesia. Meskipun menggunakan "bahan baku" dari luar, pemerintah Indonesia melalui beberapa lembaga terkait tentu tidak boleh asal terima saja sampel vaksin yang dipakai untuk uji klinis. "Kecurigaan" atau lebih tepatnya kejelian serta kehati-hatian perlu diutamakan disini. 

Potensi risiko dan efek samping sangat penting untuk dipetakan secara detail dan terperinci. Informasi yang diterima berdasarkan uji klinis I dan II mungkin cukup memberikan kabar baik, akan tetapi hal itu seharusnya tetap tidak boleh diterima begitu saja. Apalagi ini menyangkut nyawa manusia.

Upaya menggandeng beberapa institusi lain dengan bidang keahlian sejenis memang harus dilakukan. Harapannya adalah agar jangan sampai kita kecolongan terhadap sesuatu yang dianggap vaksin ternyata sebenarnya adalah "racun". 

Saya kira negera ini tidak kekurangan orang-orang yang memiliki cukup kapasitas untuk mengkaji dan meneliti hasil karya ilmuwan luar negeri. Meski dengan narasi alih teknologi, jangan sampai kita "kosongan" dalam menerima bantuan dari luar. Mengutip sebuah ungkapan, 

Tidak ada Makan Siang Gratis, akan selalu ada kemungkinan bahwa kita harus membayar atas kebaikan yang kita terima dari orang lain. Untuk mengembangkan sebuah vaksin tentu butuh sumber daya yang tida sedikit. 

Untuk melakukan tahap awal pengembangan hingga uji klinis tahap kedua hal itu pastilah menelan biaya besar. Lalu apakah hasil kerja keras itu akan diberikan begitu saja secara gratis? Tentu tidak. Kemungkinan besar pada akhirnya kita tetap harus membayar untuk itu. Dan kemungkinan juga harganya tidak murah.

Murah atau mahal tidak selalu tentang uang. Ada hal lain yang lebih dari itu. Oleh karenanya mengapa sangat penting untuk menjadi sebuah bangsa yang memiliki kompetensi tinggi di berbagai bidang. Teknologi, sains, ekonomi, dan lain sebagainya. 

Sebagai contoh, China dilanda pandemi COVID-19 dalam rentang waktu yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Akan tetapi mereka sudah mencapai tahap akhir penyiapan vaksin, dan sebentar lagi siap memproduksi masal. Sangat berbeda dengan vaksin rintisan lokal yang kemungkinan besar baru akan siap pada tahun 2022 mendatang. 

Kita ketinggalan sangat jauh. Tidakkah ini menyadarkan kita bahwa ada banyak hal penting di bangsa ini yang butuh perhatian kita bersama. Bukan melulu berbicara politik dan politik. Masih ada aspek pendukung lain bagi sebuah bangsa untuk membuat dirinya diakui di mata dunia. 

Dan sayangnya untuk musibah pandemi ini kita masih harus mengandalkan belas kasih dari bangsa lain. Tentunya dengan segala kemungkinan akibatnya.

Salam hangat,
Agil S Habib 

Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]; [5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun