Apakah kita masih kurang cukup sensasi untuk diperdebatkan di masa pendemi COVID-19 ini. Situasinya mungkin akan berbeda jikalau publikasi hasil putusan sudah dilakukan sejak lama mengingat putusan tersebut sebenarnya sudah diambil sejak 28 Oktober 2019 lalu. Apakah ada motif tersembunyi dibalik ini semua?Â
Mungkinkah ini bagian dari "silat lidah" beberapa pihak yang tersudut akibat ketidakmampuan mereka dalam menangani pandemi COVID-19 sehingga merasa bahwa atensi publik harus dialihkan sejenak guna memberi jeda atau sekadar menata strategi lanjutan yang mampu mengerek kembali popularitas mereka di hadapan publik.
Hal ini juga bisa menjadi momen membuka kembali luka lama orang-orang yang berkeberatan terhadap hasil pilpres 2019 lalu. Luka lama yang diharapkan bisa meredam hasrat sebagian kalangan untuk kembali turun kejalan seiring kontroversi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Dimana kita tahu sebagian dari para mereka yang gencar menyuarakan penolakan RUU HIP adalah orang-orang yang berada pada kubu berseberangan dengan pemerintah yang saat ini berkuasa.Â
Entah apa sebenarnya motivasi baru dipublikasikannya putusan MA perihal gugatan hasil pilpres 2019 lalu. Pengalihan isukah? Atau ada motif lain yang lebih besar dari itu.
Dalam hal ini sekali lagi kita terjebak dalam konflik masa lalau yang kembali diungkit dan terus saja seperti itu. Visi untuk melihat Indonesia yang lebih baik seakan terhalang tembok besar atas konflik internal yang terus-menerus terjadi. Dan masalahnya juga yang seperti itu lagi.Â
Lagipula percuma saja mengungkit kembali pilpres 2019 lalu itu. Prosesi itu sudah selesai. Dan kini kedua pasangan yang dulu bersaing sudah berada dalam perahu yang sama. Jangan diungkit kembali luka itu. Fokus saja pada kinerja pemerintahan saat ini. Apa-apa saja yang perlu dikritisi, dan mana saja yang harus diperbaiki.Â
Berkutat pada ranah ideologi dan berputar-putar pada keruwetan pilpres yang sudah jelas dasar hukumnya akan membuat bangsa ini kehilangan produktivitasnya. Mereka yang sudah terpilih sejatinya harus mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya.Â
Jikalau ada sebagian kalangan yang mengungkit kembali luka lama itu, hal itu lebih tepat dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan atas kinerja para penguasa yang saat ini menjabat. Ibarat kata, jikalau pemilihan yang dilakukan tidak konstitusional tapi rakyatnya makmur sejahtera maka bisa jadi tidak akan ada orang yang mempermasalahkannya.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi:
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]