Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Gaduh Putusan MA dan Luka Lama Pilpres

8 Juli 2020   07:25 Diperbarui: 8 Juli 2020   07:24 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joko Widodo | Sumber gambar: kompas.com

Isu reshuffle baru mulai mereda (atau lebih tepatnya "dipaksa" untuk mereda), tiba-tiba polemik baru mengemuka di hadapan publik. Keabsahan status Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin kembali dipertanyakan pasca Mahkamah Agung (MA) mempublikasikan hasil putusan gugatan perkara pemilihan umum (pemilu) 2019 yang lalu yang diajukan oleh kerabat dekat Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri berikut beberapa koleganya. 

Gugatan tersebut dilayangkan oleh Rachmawati terhadap Peraturan Komisi Pemilhan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilihan Umum. 

Titik pangkal masalahnya adalah PKPU Nomor 5 Tahun 2019 dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyangkut syarat Presidential Threshold minimal 20% di setiap provinsi yang mesti terpenuhi. 

Dalam pilpres 2019 lalu Pasangan Jokowi -- Ma'ruf gagal mencapai batas minimal 20% itu di dua provinsi, yaitu Aceh (14.41%) dan Sumatra Barat (14.08%). 

Meski secara nasional akumulasi suara pasangan Jokowi -- Ma'ruf mencapai 55.50%, sebagian pihak menilai hal itu masih belum cukup untuk menetapkan kemenangan pilpres bagi pasangan tersebut. Permasalahannya adalah pada ambang batas minimal 20% tadi.

Konflik pilpres yang sudah terjadi berbulan-bulan lalu itu kini seolah memanas kembali pasca rilis putusan MA. Tidak sedikit yang mempertanyakan legalitas presiden dan wakil presiden yang saat ini menjabat. Sebagian orang bahkan mencibir agar sebaiknya presiden meletakkan jabatannya terkai dengan hal ini. 

Namun, pihak KPU sepertinya tidak sepakat dengan penilaian tersebut. Menurut mereka putusan pemenangan pasangan Jokowi -- Ma'ruf sudah tepat dan sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD)  1945 Pasal 6A tentang formula pemilihan. Jokowi -- Ma'ruf sudah memenangi lima puluh persen lebih suara mayoritas pemilih dengan kemenangan di 21 provinsi berbanding 13 provinsi milik pasangan Prabowo -- Sandi. 

Sedangkan untuk persebaran 20% suara di setiap provinsi, Jokowi -- Ma'ruf memang memiliki "cacat" di Aceh dan Sumatra Barat. Namun dalam hal ini Prabowo -- Sandi juga tidak lebih baik. Mereka mengalami situasi serupa di tiga provinsi yaitu Bali (8.32%), Papua (9.34%), dan Nusa Tenggara Timur (11.43%). Sehingga kurang tepat rasanya untuk mengatakan Prabowo -- Sandi lebih pantas memenangi pilpres ketimbang Jokowi -- Ma'ruf.

Menilik kembali ke belakang terkait putusan Mahkamah Konsitutusi (MK) di tahun 2014 yang lalu dimana Presidential Threshold minimal 20% menjadi tidak berlaku tatkala pilpres hanya mempertemukan dua pasangan calon saja. Sehingga kemenangan Jokowi --Ma'ruf jika merujuk pada data rekapitulasi hasil KPU memang sudah benar. Terkecuali data perhitungan KPU tersebut memang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Luka Lama

Pilpres sudah usai, namun mengapa putusan MA ini kembali memicu polemik di hadapan publik. Menjadi pertanyaan juga mengapa putusan MA yang teregistrasi sejak lama itu, sekitar Mei 2019, baru dirilis putusannya tanggal 3 Juli 2020 lalu. Beritanya sudah usang. 

Apakah kita masih kurang cukup sensasi untuk diperdebatkan di masa pendemi COVID-19 ini. Situasinya mungkin akan berbeda jikalau publikasi hasil putusan sudah dilakukan sejak lama mengingat putusan tersebut sebenarnya sudah diambil sejak 28 Oktober 2019 lalu. Apakah ada motif tersembunyi dibalik ini semua? 

Mungkinkah ini bagian dari "silat lidah" beberapa pihak yang tersudut akibat ketidakmampuan mereka dalam menangani pandemi COVID-19 sehingga merasa bahwa atensi publik harus dialihkan sejenak guna memberi jeda atau sekadar menata strategi lanjutan yang mampu mengerek kembali popularitas mereka di hadapan publik.

Hal ini juga bisa menjadi momen membuka kembali luka lama orang-orang yang berkeberatan terhadap hasil pilpres 2019 lalu. Luka lama yang diharapkan bisa meredam hasrat sebagian kalangan untuk kembali turun kejalan seiring kontroversi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Dimana kita tahu sebagian dari para mereka yang gencar menyuarakan penolakan RUU HIP adalah orang-orang yang berada pada kubu berseberangan dengan pemerintah yang saat ini berkuasa. 

Entah apa sebenarnya motivasi baru dipublikasikannya putusan MA perihal gugatan hasil pilpres 2019 lalu. Pengalihan isukah? Atau ada motif lain yang lebih besar dari itu.

Dalam hal ini sekali lagi kita terjebak dalam konflik masa lalau yang kembali diungkit dan terus saja seperti itu. Visi untuk melihat Indonesia yang lebih baik seakan terhalang tembok besar atas konflik internal yang terus-menerus terjadi. Dan masalahnya juga yang seperti itu lagi. 

Lagipula percuma saja mengungkit kembali pilpres 2019 lalu itu. Prosesi itu sudah selesai. Dan kini kedua pasangan yang dulu bersaing sudah berada dalam perahu yang sama. Jangan diungkit kembali luka itu. Fokus saja pada kinerja pemerintahan saat ini. Apa-apa saja yang perlu dikritisi, dan mana saja yang harus diperbaiki. 

Berkutat pada ranah ideologi dan berputar-putar pada keruwetan pilpres yang sudah jelas dasar hukumnya akan membuat bangsa ini kehilangan produktivitasnya. Mereka yang sudah terpilih sejatinya harus mempertanggungjawabkan amanah yang diembannya. 

Jikalau ada sebagian kalangan yang mengungkit kembali luka lama itu, hal itu lebih tepat dimaknai sebagai bentuk ketidakpuasan atas kinerja para penguasa yang saat ini menjabat. Ibarat kata, jikalau pemilihan yang dilakukan tidak konstitusional tapi rakyatnya makmur sejahtera maka bisa jadi tidak akan ada orang yang mempermasalahkannya.

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi:
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun