Sampai saat ini aktivitas belajar mengajar di sekolah masih belum kembali normal seperti sediakala. Meskipun sudah memasuki masa-masa tahun ajaran baru, belum tampak tanda-tanda bahwa sekolah akan dibuka kembali.Â
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui menterinya, Mas Nadiem Makarim, menyatakan bahwa hanya sekitar 6% saja dari total peserta didik yang diperbolehkan mengadakan kegiatan belajar dengan bertatap muka secara langsung.Â
Dan mereka yang "beruntung" itu hanyalah sekelompok masyarakat yang berada di wilayah zona hijau persebaran virus corona COVID-19. Masih ada sekitar 94% lagi murid-murid yang mesti menjalankan kegiatan pendidikannya dari rumah seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir ini.Â
Demikian halnya dengan para guru pengajar yang juga masih harus mengajari anak didik mereka dari kejauhan. Memantau perkembangan mereka dari kejauhan.Â
Meski belum jelas betul apakah metode pembelajaran jarak jauh ini efektif untuk mengajarkan nilai-nilai lain yang lebih bersifat intrinsik sebagaimana filosofi yang tersimpan dibalik sebutan "guru" yang semestinya menjadi sosok yang dipercaya segala petuahnya, serta menjadi sosok teladan yang baik bagi semua murid-muridnya.Â
Peran guru menemukan tantangan besar seiring keterbatasan jarak yang menghalangi. Teknologi mungkin bisa menghadirkan solusi atas hal itu, namun sepertinya belum benar-benar solutif untuk menuntaskan setiap tantangan yang ada. Terutama perihal penyampaian peran penting atas sosok guru untuk mengajarkan hal-hal lain diluar teknis pendidikan.
Bapak dan ibu guru di sekolah memang berperan menyampaikan materi pembelajaran kepada murid-muridnya. Mengajari mereka cara memahami suatu pengetahuan, mendidik mereka cara untuk menghitung, dan lain sebagainya. Namun lebih dari itu "gerak-gerik" seorang guru juga tidak kalah pentingnya.Â
Setiap tutur kata, sikap, dan perilaku seorang guru akan senantiasa menjadi rujukan sikap para anak didik di sekolah. Percuma saja apabila seorang guru cekatan dan cerdas dalam menyampaikan materi-materi pelajaran namun tidak memiliki attitude yang mumpuni untuk memberi keteladanan bagaimana bersikap menjalani hidup.Â
Intensitas dan proses pertemuan yang rutin dan secara langsung lebih memungkinkan bagaimana seorang murid mengagumi gurunya, meniru sikapnya yang mulia, dan mengadopsi perilaku serta tutur katanya yang santun.Â
Apabila pertemuan antara guru dan murid sebatas dilakukan lewat video conference atau terlebih sebatas melalui tulisan maka koneksi itu akan tereduksi sebatas komunikasi fisik semata. Komunikasi "batin" yang esensial kemungkinan kurang mendapatkan porsi sebagaimana seharusnya.
Peran penting seorang guru dalam pendidikan sudah dijabarkan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui semboyan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Ketiga hal itu tidak sekadar menjabarkan peran guru pada aspek penyampaian materi akademik semata, melainkan juga menyangkut pendidikan karakter.Â
Bagaimana seharusnya seorang guru membangun karakter hebat pada diri murid-muridnya adalah jauh lebih penting ketimbang pengetahuan atas informasi akademik yang harus diakui pada era digital ini bisa diperoleh dengan mudah di internet.Â
Kasarnya, tanpa keberadaan guru sekalipun murid-murid sekolah itu bisa mendapatkan dengan mudah informasi yang mereka butuhkan. Hanya saja memang peran guru jauh lebih besar daripada itu. Mereka berfungsi sebagai pengarah, pemberi petuah, nasihat, motivasi, dan keteladanan pada semua muridnya. "Warisan" terpenting seorang guru kepada muridnya adalah tentang bagaimana cara kita memandang kehidupan ini.
Bertahun-tahun lalu menjalani masa sekolah, mungkin hanya sedikit sekali materi pelajaran yang masih bisa saya ingat sampai saat ini. Namun karakter yang diajarkan bapak ibu guru, nasihat, cara pandangnya, dan keyakinannya memadang dunia masih melekat hingga saat ini. Hal itu yang mungkin perlu kita perhatikan dalam proses belajar generasi penerus di masa pandemi seperti sekarang.Â
Apakah selama masa belajar jarak jauh ini mereka masih tetap bisa mendapatkan pemahaman yang penuh kearifan dan kebijakan dari guru-gurunya? Atau proses belajar di rumah itu sudah berubah menjadi kegiatan normatif dan teknis semata.Â
Kalau peran guru sebatas memberikan instruksi kepada murid-muridnya, maka bisa dibilang hubungan guru dan murid sudah berubah layaknya seorang atasan dengan bawahannya. Hal semacam ini tentu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut dalam sistem pendidikan kita. Peran guru harus dikembalikan pada "fitrah"-nya.
Akhir dari pandemi ini masih belum jelas, sehingga kegiatan belajar "berjauh-jauhan" ini entah akan berlanjut sampai kapan. Dalam durasi yang serba tidak pasti itu apakah kita akan membiarkan anak-anak kita berlalu begitu saja tanpa mendapatkan pengajaran karakter yang memadai?Â
Kita selaku orangtua atau kerabat dari para anak didik, guru-guru, dan pemerintah mestinya memikirkan hal ini dengan lebih mendalam. Saat ini digitalisasi mungkin sudah dianggap menjadi solusi pendidikan tanpa tatap muka secara langsung. Akan tetapi implementasinya masih belum menunjukkan keyakinan atas hal itu.Â
Perlu ada perombakan sistem pendidikan dalam situasi dan kondisi seperti sekarang. Tanpa itu semua, apa yang bisa diharapkan dari guru yang hanya  "di rumah saja"?
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H