Belakangan ini cukup ramai pemberitaan perihal pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari jabatannya. Isu ini merebak pasca terjadinya tindakan intimidasi dari pihak tidak bertanggung jawab terhadap pihak penyelenggaran diskusi yang mengangkat topik tentang pemberhentian presiden sehingga membuat diskusi tersebut batal dijalankan.
Efek lanjutannya, tudingan bahwa demokrasi Indonesia terbelenggu pun menyeruak. Sindiran bahwa pemerintah anti kritik pun mengemuka.
Apalagi dalam waktu tidak jauh berbeda ada seorang mantan prajurit yang dijemput aparat pasca mengutarakan uneg-unegnya dalam sebuah surat terbuka yang meminta Presiden Jokowi mundur dari jabatannya. Politisi Fadli Zon pun sempat menyebut bahwa demokrasi Indonesia saat ini tak lebih dari sebuah demokrasi abal-abal.
Gayung bersambut, beberapa tokoh seperti Din Syamsudin juga menyebut bahwa pemakzulan presiden pada negara demokrasi adalah dimungkinkan. Tentu dengan syarat ketentuan berlaku. Ada konstitusi yang mengatur untuk itu.
Mekanismenya tidak sembarangan dan butuh proses sangat panjang dan rumit. Menurut Din, ada tiga syarat untuk memakzulkan kepala negara.
Pertama, tidak adanya keadilan. Kedua, tidak memiliki ilmu pengetahuan dan tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional. Ketiga, pemimpin kehilangan kewibawaan dan kemampuan memimpin terutama dalam masa krisis.
Selain ketiga hal tersebut, pemakzulan juga dimungkinkan apabila kepemimpinan yang dilakukan cenderung represif dan diktator.
Sedangkan menurut mantan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari, kebijakan pandemi tidak serta merta membuat presiden bisa dijatuhkan. Seburuk apapun keputusan itu selama tidak melanggar Undang-Undang Dasar (UUD) maka pemakzulan tidaklah dimungkinkan.
Terlepas dari persyaratan UUD yang mesti dipenuhi untuk sebuah upaya pemakzulan, sebenarnya kita juga mesti berfikir panjang apakah konsekuensi dari pemakzulan tersebut benar-benar memberikan efek yang positif.
Jikalau memang Presiden Jokowi bisa dimakzulkan, lalu bagaimana? Siapa yang akan maju menggantikan Jokowi sebagai presiden apabila tindakan pemakzulan terealisasi? Apakah sang pengganti benar-benar mampu menciptakan titik balik kebijakan atau justru membuat semuanya semakin memburuk? Ada sekelumit pertanyaan yang menggelayuti benak kita apabila pemakzulan tersebut sampai terjadi. Mari kita periksa hitung-hitungannya.
Apabila seorang presiden dimakzulkan, lantas siapa yang berkewenangan mengemban tugasnya? Wakil presidennya.
Dengan kata lain, andaikan Jokowi undur diri dari jabatannya karena dimakzulkan atau karena alasan lain maka Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin secara otomatis akan menggantikannya. Apakah publik yakin bahwa beliau bisa memimpin lebih baik dari Jokowi?
Melihat hasil survei beberapa waktu lalu saat evaluasi 100 hari masa jabatan pemerintah periode 2019 -- 2024, rasa-rasanya sulit membayangkan Ma'ruf Amin sebagai presiden. Dalam ulasan survei tersebut wapres dinilai tidak "kelihatan" kinerjanya.
Sehingga akan sangat rumit untuk melihat kelangsungan pemerintahan dibawah kendali beliau. Apalagi selama ini banyak selentingan yang menyebutkan bahwa pemerintahan Jokowi laksana pemerintahan "boneka" yang disetir oleh segelintir kalangan.
Menilik pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa (Presiden) Jokowi adalah petugas partai maka potensi kepentingan partai juga ada dibalik kepemimpinan sang presiden.
Orang-orang kepercayaan partai pun akan turut terlibat dalam lingkaran kekuasaan yang berada di sekitar presiden tersebut.
Apabila presidennya dimakzulkan tapi "kroni-kroninya" masih berseliweran di lingkungan istana maka sami ugi sami mawon alias sama saja. Pemakzulan hanya menjadi even penggantian sosok kepala negara saja, tapi belum tentu dengan kebijakannya.
Kesadaran Berbangsa
Untuk mengubah tatanan pemerinahan dalam skala besar tentu tidaklah mudah. Apalagi dalam kasus pemakzulan yang tidak serta merta merombak keseluruhan jajaran pemerintah itu sendiri.
Jika pemangku kebijakan pasca pemimpin yang dimakzulkan adalah "orang dekat" juga, maka ujung-ujungnya juga tidak akan ada perubahan yang berarti.
Andaikan Ma'ruf Amin yang naik menjadi presiden dan ternyata kepemimpinannya sama saja atau lebih buruk dari Jokowi, maka apakah ia juga perlu dimakzulkan? Lalu mau sejauh mana pemakzulan demi pemakzulan akan dilakukan? Ujung-ujungnya rakyat memang harus benar-benar jeli memilih pemimpinnya apabila kesempatan itu ada. Pemilihan kepala daerah merupakan kesempatan terdekat untuk itu. Jangan lagi tergiur politik uang atau identitas yang mengagungkan emosi sesaat tapi akhirnya merugi berkepanjangan.
Sekarang kita hanya bisa berharap dan mendoakan yang terbaik para pemimpin yang ada. Siapapun mereka. Serta memberikan masukan yang sekiranya bisa menjadi referensi berharga bagi para pemimpin tersebut untuk mengambil kebijakan terbaik bagi segenap bangsa Indonesia.
Ketimbang ribut soal pemakzulan, mari memperbanyak gagasan demi gagasan yang bisa membantu bangsa ini lebih baik ke depan.
Tentu dengan syarat bahwa para elit diatas juga mesti lebih peka dan apresiatif terhadap rakyatnya. Bukan malah tersinggung setiap kali diberikan lontaran kritik.
Karena setiap pemimpin negara umumnya hanya akan disorot kekurangan demi kekurangan dalam kepemimpinannya.
Setiap kebijakan yang tepat sasaran memang suatu keharusan mengingat untuk itulah mereka dipilih dan diserahi amanah mengelola negeri ini.
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
[1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H