Menteri Agama Fachrul Razi kemarin (02/06) menyampaikan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa penyelenggaraan ibadah haji tahun 1441 H/2020 M ditiadakan. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena pandemi COVID-19 yang masih melanda di sebagian besar negara-negara di dunia.Â
Termasuk Arab Saudi selaku pusat pelaksanaan ibadah haji umat muslim sedunia. Dengan demikian pada tahun ini tidak akan "seremoni" ibadah haji sebagaimana tahun-tahun sebelumnya.Â
Meski bukan yang pertama kali penyelenggaraan ibadah haji ditiadakan, akan tetapi hal itu tetap akan membuat umat Islam yang berkesempatan menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu tahun ini merasa kehilangan.Â
Namun mau bagaimana lagi, Aspek keselamatan memiliki tingkat prioritas yang jauh lebih penting. Semoga di tahun depan para jamaah haji yang batal berangkat tahun ini masih diberikan oleh Allah SWT kesempatan untuk menatap langsung baitullah.
Peniadaan penyelenggaraan ibadah haji sebenarnya bukanlah sesuatu yang memantik kontroversi. Terlebih wacana itu sebenarnya sudah digulirkan sejak jauh-jauh hari terutama pasca bergulirnya gelombang pandemi COVID-19 di berbagai negara di dunia.Â
Masjidil Haram sempat ditutup untuk umum guna menghindari persebaran virus antar jamaah. Dengan masih belum usainya pandemi, maka ritual rutin tahunan yaitu ibadah haji terpaksa harus ditiadakan terlebih dahulu. Semua demi kebaikan bersama. Demi kesehatan dan keselamatan umat.
Tapi tidak lama berselang pasca pengumunan dari Menteri Agama perihal peniadaan penyelenggaraan ibadah haji, sebuah berita kontroversial mengapung ke permukaan.Â
Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu sempat menyampaikan bahwa sekitar US$ 600 juta dana BPKH bisa dipakai untuk memperkuat rupiah.Â
Pernyataan ini sebenarnya sudah disampaikan pada periode 26 Mei 2020 lalu saat acara halal bihalal internal BPKH dan Bank Indonesia. Namun baru mencuat kemarin pasca Menag mengumumkan peniadaan ibadah haji tahun ini.
Sebenarnya bukan kali ini saja dana abadi umat dari penyelenggaraan ibadah haji dilirik oleh pemerintah untuk "membiayai" penyelenggaraan negara.Â
Pada tahun 2017 yang lalu dana haji juga gencar diberitakan perihal kemungkinannya untuk mendanai investasi di sektor infrastruktur. Niatan itu sejauh ini masih belum terlaksana. Entah karena kuatnya badai penolakan terhadap rencana tersebut atau karena sudah ada opsi lain yang lebih baik.Â
Seiring momen pandemi yang merongrong berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, serta membuat carut marut perekonomian, maka pemerintah membutuhkan sumber daya pendukung dari berbagai lini. Meluncurkan surat hutang sudah, merelokasi anggaran sudah, menaikkan iuran BPJS Kesehatan juga sudah.Â
Tapi kondisi akibat efek pandemi COVID-19 masih belum sepenuhnya membaik. Banyak warga negara yang kehilangan pekerjaan. Daya beli masyarakat menurun.Â
Pertumbuhan ekonomi pun sangat minimalis. Apabila hal-hal tersebut terus dibiarkan, maka tidak bisa dibayangkan konsekuensi seperti apa yang mesti ditanggung bangsa ini kelak. Negara harus berbuat sesuatu.
Hanya saja, haruskah opsi yang dipilih adalah mempergunakan dana haji dalam rangka mengerek stabilitas ekonomi? Tidak adakah jalan lain ketimbang mempergunakan dana umat yang sayogyanya diperuntukkan untuk sesuatu yang lain?
Ekonom senior Rizal Ramli (RR) menyebut wacana penggunaan dana haji untuk mendukung upaya stabilisasi rupiah sebagai tindakan yang payah.Â
Benar-benar kehabisan ide. Hal ini seakan mengulang tren kebijakan pemerintah saat ini yang cenderung mencari jalan mudah kebijakan. Ketimbang mencari opsi lain yang lebih "njelimet", opsi-opsi gampang semacam pencabutan subsidi dan menaikkan tarif seringkali diambil. Jikalau dana haji nantinya benar-benar dipakai, maka itu akan menjadi penegasan bahwa pemerintah memang minim kreativitas.
Bagaimanapun juga situasi pelik akibat pandemi mesti segera dituntaskan. Dengan cara yang lebih kreatif ketimbang "memeras" hasil jerih payah rakyat.Â
Langkahnya seperti apa? Pastinya orang-orang didalam pemerintahan adalah para sosok cerdas yang memiliki kreativitas mumpuni yang mampu menghasilkan ide kreatif untuk merumuskan solusi demi solusi.Â
Berdayakan mereka. Kalau masih mentok, ada banyak tokoh senior dan juga kreatif yang berada diluar lingkar kekuasaan. Berdayakan mereka. Jangan gengsi. Berkonsultasi untuk urusan bangsa dan negara seharusnya dilakukan tanpa pandang bulu dan menilik latar belakang yang berbeda.Â
Mungkin Ibu Sri Mulyani atau Bapak Airlangga bisa berbincang dengan Rizal Ramli, Kwik Kian Gie, Budiono, atau para sesepuh ekonomi lain untuk mendapatkan masukan berharga.Â
Sayangnya gengsi kita sepertinya sangat tinggi biarpun itu demi kemaslahatan rakyat banyak. Jikalau terus seperti itu maka siapa yang akhirnya menjadi korban?
Salam hangat,
Agil S Habib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H