Konon katanya Kerajaan Majapahit yang terkenal pernah mempersatukan Nusantara itu tidak mengandalkan kekuatan militer sebagai senjata utama. Meskipun waktu itu sang Mahapatih Gajah Mada terkenal akan kedigdayaannya, akan tetapi bukan hal itu pula yang ia jadikan sebagai andalan untuk merangkul kerajaan-kerajaan lain pada masanya sehingga ikut bergabung kedalam panji Majapahit.Â
Raja Hayam Wuruk, Mahapatih Gajah Mada, dan Majapahit menjadikan ekonomi sebagai senjata utama melakukan penaklukan demi penaklukan. "Iming-iming" kemakmuran secara ekonomi membuat beberapa kerajaan lain secara sukarela menjadi bagian dari Majapahit. Pada saat itu, Majapahit sepertinya sudah mengusung konsep yang lebih maju dari zamannya.Â
Sebuah kolonialisme "halus" yang berujung pada penyatuan Nusantara. Itulah kolonialisme 5.0, yang tidak lagi mengandalkan kekuatan militer sebagai senjata utama melainkan kekuatan ekonomi.
Beranjak jauh kemasa depan, Indonesia terus menggembar-gemborkan periode kejayaan para leluhurnya itu dan berharap suatu hari nanti bisa mengulang cerita sukses serupa. Namun sepertinya asa itu masih harus bertahan di awang-awang. Situasi penuh konflik kepentingan dan sekelumit problematika lain membuat bangsa ini sulit mewujudkan mimpi besar itu.Â
Biarpun visi besar tersebut terus dicanangkan dari waktu ke waktu, tak ayal situasinya masih belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Masing-masing pihak terus asyik dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Justru negara di seberang lautan sana yang mulai berhasil mengadopsi kesuksesan Majapahit itu.Â
Bahkan kini seiring kekuatan ekonominya yang terus membesar, ia mulai melirik konsep perluasan wilayah yang dulu dilakukan oleh Majapahit. Kolonialisme 5.0. Ironisnya, justru Indonesia yang tak lain "anak cucu" kerajaan besar di Nusantara itulah yang belakangan menjadi "objek" dari program itu. Negeri Tirai Bambu China yang beberapa tahun terakhir ini begitu digdaya dalam urusan ekonomi tengah berupaya untuk menebarkan ideologinya ke berbagai penjuru dunia. Ideologi komunis yang mereka percaya telah membawa negaranya menuju status negara "super power" dalam hal ekonomi, economic domination.
China tidak melakukan agresi militer atau serangan frontal sebagaimana penjajahan tempo dulu pada umumnya. Dengan memanfaatkan iming-iming ekonomi, investasi, suntikan modal, dan sejenisnya ia menelusup masuk ke berbagai negara di dunia. Negara-negara di Afrika selama beberapa tahun terakhir telah menjadi sasaran pemodal asal China untuk berinvestasi.Â
Ada begitu banyak proyek infrastruktur dibangun disana, yang menjadikan negara-negara seperti Uganda, Ethiopia, dan beberapa negara afrika lain menjadi lebih berkembang sekaligus memiliki hutang yang cukup besar. Apa yang dilakukan oleh China dengan menebar investasi begitu besar di beberapa negara afrika tersebut oleh salah seorang Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS), John Bolton, disebutnya sebagai upaya kolonialisme China. Sebuah kolonialisme "halus" yang bahkan oleh orang afrika sendiri disangkal sebagai bentuk dari kolonialisme.
Kepala Bank Pembangunan Afrika (ADB) yang sekaligus mantan Menteri Pertanian Nigeria, Akinwuni Adesina, bahkan menyebut China sebagai sahabat Afrika. Sebuah pandangan yang sepertinya sebesal dua belas dengan yang dimiliki oleh Indonesia saat ini. Pesona ekonomi China telah membius banyak negara untuk turut bergabung menjadi bagian dari aliansinya.Â
Pertanyaannya sekarang, apakah langkah China tersebut benar-benar didasari oleh semangat sebagai mitra yang saling menguntungkan ataukah semata sebagai upaya menebar kembali ideologi komunis dengan harapan negara-negara lain bisa tunduk menjadi bonekanya?Â
Sepertinya bukan sebuah kebetulan apabila belakangan ini isu-isu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) kembali menghangat. Meski disangkal oleh sebagian kalangan, beberapa pihak tetap bersikeras menyebut bahwa ideologi tersebut mulai bangkit kembali. Apakah ini berarti komunisme itu mulai menyusup berbarengan dengan kolonialisme 5.0 yang belakangan diusung oleh China?
Ramai-ramai mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China juga tak kalah menghebohkan. Sebutan terkait adanya transfer knowledge dari TKA China ke pekerja asli Indonesia turut menjadi bumbu dari perizinan masuknya TKA China ke Indonesia di tengah banyaknya warga Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan di negeri sendiri.Â
Sudah barang tentu hal ini menjadi polemik. Semestinya putra putri bangsa sendiri yang diprioritaskan untuk mengisi pos-pos pekerjaan tersebut. Tetapi ini malah memberikan porsinya kepada warga negara asing. Mungkinkah ini syarat yang turut disertakan oleh para pemodal yang mendanai proyek-proyek di Indonesia? Bisa jadi.Â
Jika sudah seperti ini yang terjadi, maka patutkah itu disebut sebagai hubungan mitra yang saling menguntungkan? Apakah bangsa ini akan menjadi objek dari kolonialisme era baru bangsa lain yang mengadopsi filosofinya dari nenek moyang negeri kita sendiri?
Salam hangat,
Agil S HabibÂ
Refferensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H