Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fadli Zon "Tampar" Jokowi dengan Sebutan "Duta Mal Indonesia"?

27 Mei 2020   07:04 Diperbarui: 27 Mei 2020   07:12 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan pantauan secara langsung ke salah satu mal di kawasan Bekasi untuk memastikan kesiapan mal tersebut dalam menjalankan protokol "new normal" terkait wacana pemerintah yang akan mengizinkan mal-mal kembali beroperasi mulai 5 Juni 2020 mendatang. Beberapa narasi yang disampaikan sebelumnya oleh pemerintah sepertinya memang mengarah pada kebijakan untuk beraktivitas normal di tengah masa pandemi. Sebuah aktivitas normal yang baru.

Namun kunjungan Jokowi tersebut sepertinya kurang disambut baik oleh politisi Partai Gerindra yang sekaligus anggota DPR, Fadli Zon. Politikus yang getol mengkritik kebijakan pemerintah ini bahkan melalui cuitannya melabeli Jokowi dengan sebutan "Duta Mal Indonesia". Fadli menyindir Jokowi memiliki kepedulian yang tinggi terhadap mal di Indonesia. Lebih lanjut, ia juga mempertanyakan bagaimana kabar pasar tradisional dan pasar rakyat. 

Mungkin Fadli ingin mengingatkan presiden terkait adanya kasus pembubaran pedagang pasar yang melanggar aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) beberapa waktu lalu. Kalau boleh dibilang, sebutan "Duta Mal Indonesia" ibarat sebuah tamparan lembut seorang Fadli Zon kepada pemerintah yang dinilai "mencla-mencle" dalam membuat keputusan. Disatu sisi aturan social distancing getol dilaksanakan, tetapi disisi lain justru terjadi kontradiksi.

Selama masa berlakunya PSBB di beberapa wilayah, ada beberapa aktivitas yang tetap diizinkan berlangsung seperti biasa. Salah satunya transaksi di pasar tradisional. Akan tetapi sejauh ini masih banyak sekali pelanggaran protokol PSBB yang diabaikan. Physical distancing seperti tidak digubris samasekali. 

Belum lagi kesadaran menggunakan masker yang masih minim. Banyak pedagang atau pembeli yang menganggap remeh situasi ini dan seolah mengabaikan masa pandemi virus corona COVID-19 di sekelilingnya. Kebiasaan turun-temurun semacam ini memang sangat sulit dirubah dalam sekejap, bahkan oleh adanya sebuah pandemi virus sekalipun. 

Masyarakat butuh edukasi yang lebih intens. Seharusnya para pejabat publik atau bahkan Presiden turun langsung ke pasar tradisional untuk memantau sekaligus mengajarkan tentang bagaimana seharusnya protokol "anti" COVID-19 dilaksanakan.

Langkah yang ditempuh oleh pemerintah sepertinya tidak seperti itu. Mereka memilih mal sebagai "pilot project" pemberlakuan tatanan kehidupan baru "new normal", dan bukan pasar. Apakah pertimbangannya karena pengunjung mal lebih mudah diatur ketimbang pengunjung di pasar tradisional? Atau karena pertimbangan yang lain? 

Sebenarnya sah-sah saja memilih sektor manapun untuk dijadikan rujukan pemberlakuan "new normal" di tengah periode pandemi. Setelah PSBB tidak terlalu membuahkan hasil dan lockdown samasekali tidak menjadi pilihan, maka opsi lain yang sekiranya tetap menjaga keberlangsungan roda ekonomi masyarakat haruslah diapungkan. 

Biarpun itu menyimpan risiko yang sangat besar, terutama terhadap aspek kesehatan masyarakat. Pendapat sebagian orang, wacana untuk "new normal" ini merupakan klimaks dari ketidakberdayaan kita dalam melawan pendemi COVID-19.

"Duta Mal Indonesia" adalah sebutan satir dari seorang Fadli Zon kepada Jokowi dan jajarannya bahwa ada banyak hal penting lain yang semestinya diprioritaskan penanganannya selama masa pandemi selain daripada mal. Mal memang memiliki peran penting dalam memutar roda perekonomian, tetapi ia bukan yang utama. Selain itu, mal cenderung merepresentasikan kalangan menengah ke atas. Hal ini seperti menjadi sebuah anomali dari label yang disematkan kepada Presiden Jokowi selama ini sebagai presidennya "wong cilik".

Apakah kemudian yang dilakukan Jokowi dengan meninjau mal ini sebagai sesuatu yang salah? Belum tentu juga. Asalkan presiden memiliki komitmen yang "merata" terhadap sektor-sektor lain. Bukan sekadar memberikan atensi kepada pasar sebagaimana yang dimaksud oleh Fadli Zon, akan tetapi nasib rumah ibadah seperti masjid juga mesti diperhatikan.

Akan terasa aneh apabila mal dibuka tetapi masjid ditutup. Akan terasa aneh jikalau orang-orang dibebaskan menonton bioskop dan menikmati hibuarn di mal tapi dibatasi menunaikan aktivitas ibadah didalam masjid. Pemerintah boleh berdalih bahwa perekonomian penting untuk diprioritaskan, hanya saja mereka juga mesti memiliki kepekaan terhadap situasi sosial yang berkembang di masyarakat. 

Apabila "new normal" siap diterapkan pada tempat seperti mal, maka hal itu juga harus diberlakukan juga pada aspek yang lain. Mengedepankan argumentasi "pilot project" juga kurang tepat apabila rumah ibadah dinomorduakan. Mengapa mal dulu yang dibuka? Mengapa bukan masjid atau rumah ibadah yang dibuka?

Salam hangat,

Agil S Habib 

Refferensi :

[1]; [2]; [3]; [4]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun