Interaksi sosial dibatasi, kerumunan masal dilarang, transportasi umum tidak boleh beroperasi, dan masjid-masjid pun "ditutup" dari aktivitas keagamaan.Â
Efek pandemi virus corona. Hanya tempat-tempat "spesial" seperti toko sembako bin pasar, toko obat, rumah sakit, dan sarana penunjang vital lainnya yang diizinkan untuk beroperasi.Â
Bahkan tempat sesakral Masjidil Haram di Mekah saja harus merelakan dirinya tertutup untuk umum. Kesakralannya sepertinya masih kalah pamor dengan pasar. Mungkinkah masjid-masjid itu kini merasa iri dengan papularitas pasar belakangan ini?
Mengedepankan penutupan masjid ketimbang pasar barangkali didasari oleh teori piramida Maslow. Hierarki kebutuhan yang disusun oleh Abraham Maslow menunjukkan beberapa tingkatan kebutuhan mulai dari yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, sosial, penghargaan, hingga aktualisasi diri sebagai puncak kebutuhan pribadi seseorang.Â
Dalam hal ini, pasar selaku penyuplai bahan kebutuhan dasar manusia khususnya pangan menempati tingkatan paling dasar yang lebih utama dari semuanya.Â
Menurut Maslow, kebutuhan fisiologis akan menjadi prioritas pemenuhan seseorang sebelum beranjak pada pemenuhan kebutuhan lain yang lebih tinggi.Â
Sehubungan dengan pembatasan interaksi sosial (social distancing) dan pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tak ayal segala sesuatu yang mencakup kebutuhan paling dasar tersebut sebisa mungkin tetap harus mendapatkan dukungan penuh. Pasar tetap harus buka, demikian juga dengan fasilitas kesehatan. Lantas dimanakah letak peran masjid dalam hierarki piramida Maslow?
Biarpun kebutuhan aktualisasi diri belum terpenuhi, hal itu sepertinya tidak akan menjadikan seseorang kehilangan hidupnya. Atau bisa jadi hal ini malah lebih urgent ketimbang semua kebutuhan yang dijabarkan oleh Maslow. Mendasari semuanya. Bahkan kebutuhan fisiologis sekalipun.
Sebuah riwayat pernah mengatakan bahwa jikalau seorang muslim mengetahui pahala dari sholat berjamaah di masjid, niscaya mereka akan berupaya untuk mendatanginya biarpun dengan merangkak. Khususnya untuk jamaah sholat Isyak dan sholat Subuh. Dengan kata lain ada nilai keutamaan besar dibalik penunaian sholat berjamaah di masjid.Â
Lalu bagaimana jika masjid sampai harus ditutup? Dimanakah letak keutamaan itu dibandingkan pasar? Karena sejauh ini belum pernah ada kajian yang menyatakan datangilah pasar meskipun dengan merangkak.Â