Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Simulasi Matematis Vs Ramalan Magis, Siapa Paling Jitu Menebak Akhir Pandemi Covid-19?

12 Mei 2020   15:01 Diperbarui: 12 Mei 2020   15:27 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : www.urbanasia.com

Sejak pertama kali pandemi COVID-19 melanda beberapa kalangan sudah menerka-nerka kapan kiranya periode puncak dan akhir pandemi bakalan terjadi. Simulasi pemodelan matematis yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari berbagai latar belakang pun sudah menunjukkan beberapa skenario terkait seperti apa pandemi kali ini berlangsung.

Hitung-hitungan skenario terbaik dan terburuk juga tak luput untuk dibuat. Semuanya menunjukkan prediksi yang beragam. Ada yang memperkirakan bahwa pandemi akan berakhir di bulan April 2020. Meski kemudian terbukti bahwa prediksi tersebut salah.

Simulasi diperbarui dan terus menujukkan pergeseran daripada hasil simulasi terdahulu seiring pembaruan data yang terus dilakukan dari waktu ke waktu. Saat ini, simulasi pun masih coba dibuat oleh beberapa kalangan. Beberapa ada yang menyebut pandemi COVID-19 di Indonesia mulai mereka di periode Juli.

Tapi sebagian yang lain menyebut baru akan mereda pada medio September bahkan hingga akhir tahun ini. Variatif. Situasi yang tidak jauh berbeda dari tebakan para peramal yang mendasarkan perkiraannya pada aspek magis, indera keenam, terawangan paranormal, atau sejenisnya.

Akhir dari pandemi memang masih menjadi misteri hingga saat ini. Tapi hal itu justru mengundang minat banyak kalangan untuk terus menerka-nerka. Apapun metode yang dipergunakan untuk menebak masa depan sejauh ini belum ada yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan. 

Yang disebut sebagian orang sebagai ramalan atas masa depan sebenarnya tidak lebih dari sebuah prediksi yang bisa saja benar dan bisa saja salah.

Hal itu bisa diperkirakan dengan mempertimbangkan beberapa hal. Seperti membaca deret angka, beberapa pola yang membentuk deret itu akan memungkinkan kita untuk menebak angka berapa yang muncul pada deret kesekian.

Sayangnya, memperkirakan masa depan tidaklah sepasti menebak deret angka. Variabel pembentuk "deret" masa depan sangatlah kompleks. Mulai dari perkara yang sepele hingga yang kelas berat. Dan kebanyakan dari kita tidak memiliki cukup kemampuan untuk mengendalikan semua variabel itu.

Dalam suatu simulasi matematis, perubahan variabel akan berimbas pada hasil akhir dari simulasi. Hal inilah yang terjadi pada simulasi-simulasi akhir pandemi yang dibuat beberapa waktu lalu. Semula yang menebak akhir pandemi di bulan April harus direvisi ke waktu yang lain. Dalihnya adalah tingkat kedisiplinan masyarakat, dukungan kebijakan penunjang, dan lain sebagainya.

Simulasi matematis sangat penuh dengan asumsi karena bagaimanapun tidak akan pernah ada model yang sempurna. Apabila asumsinya berubah maka hasil simulasi juga terpengaruh olehnya. Akan tetapi simulasi matematis setidaknya bisa membantu menakar sejauh mana efektivitas sebuah kebijakan diberlakukan atau melihat kemungkinan terbaik dan terburuk dari sebuah kebijakan.

Hal ini penting untuk merumuskan langkah selanjutnya. Baik itu untuk mengelola risiko yang berpotensi muncul ataupun merumuskan rencana A, B, C, dan seterusnya. Berbeda dengan ramalan magis.

Meramal dengan pendekatan supranatural sangat sulit dicerna keabsahannya dengan logika. Penilaian yang muncul dari "metode" ini sangatlah tidak terukur dan tidak jelas parameternya. Hasil ramalan mengapa bisa begini dan begitu. Terkesan sebagai sesuatu yang sangat subjektif. Meskipun begitu sejarah sudah membuktikan bahwa ada beberapa orang yang memiliki kemampuan mumpuni untuk melakukannya.

Di Indonesia mengenal ramalan Jayabaya. Diluar negeri ada sosok peramal buta Baba Vanga yang konon katanya tepat dalam memprediksi beberapa hal. Belakangan, saat pandemi COVID-19 merebak beberapa publik figur yang terkenal dengan profesi magisnya juga turut memperkirakan perihal akhir dari pandemi.

Sejauh ini para peneliti hingga para peramal masih berpegang teguh pada prediksinya masing-masing. Tapi apakah tebakan mereka itu akan turut mempengaruhi akhir dari pandemi?

Akhir Pandemi Tergantung Sikap Kita

Saya pribadi justru berpendapat bahwa semua tebakan itu tidak ada sangkut pautnya dengan akhir pandemi. Semakin cepat vaksin antivirus ditemukan maka pandemi akan lebih cepat teratasi. Semakin disiplin masyarakat mengikuti anjuran social distancing dan menjaga pola hidup bersih maka pandemi akan lebih cepat mereda.

Biarpun tebakan para peramal atau simulasi para peneliti menunjukkan COVID-19 akan musnah bulan depan tetapi apabila semua langkah penanggulangan tidak dijalankan sebagaimana mestinya maka kemungkinan besar hasilnya akan nihil. Kita harus berpijak pada realitas, bukan awang-awang. Kenyataannya adalah tindakan kita dalam menaati protokol penanggulangan COVID-19. Itu yang terpenting.

Tebakan para peramal dan simulasi para peneliti hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia apabila kita tidak bergerak dalam langkah nyata. Bahkan terkadang sebuah prediksi atas kemungkinan baik yang bakalan terjadi justru menjadi bomerang yang mengacaukan semuanya. Misal, karena terlalu percaya prediksi COVID-19 akan berakhir besok maka lantas setiap orang berlaku melanggar protokol kesehatan.

Pada akhirnya situasi semakin memburuk. Terkadang tebakan akan masa depan justru membuat kita kehilangan harapan dan antusiasme untuk berbuat yang terbaik. Sebaiknya semua prediksi atau tebakan yang beredar akan masa depan itu dijadikan pelecut motivasi.

Jikalau prediksinya baik, hal itu menjadi pelecut untuk membuktikan bahwa kita memang bisa melakukannya. Tapi bila ramalan itu buruk, hal itu justru membuat kita terpacu untuk menunjukkan bahwa perkiraan itu salah.

Mengutip sebuah kalimat bijak, bahwa cara terbaik untuk memprediksi masa depan adalah dengan merencanakannya. Prediksi atas masa depan hanyalah bagian gambaran yang akan terjadi jika kita berbuat sesuai atau tidak sesuai rencana. Karena semua yang terjadi di dunia ini adalah bagian dari sebab akibat. Jika ingin pandemi berakhir sesegera mungkin tentu hal itu ada sebabnya.

Demikian juga jika pandemi berlangsung berkepanjangan juga ada sebabnya. Pada intinya kita memiliki kemampuan untuk menentukan masa depan seperti apa yang ingin dicapai. Berusaha yang terbaik niscaya akan memberikan hasil terbaik. Dan tentunya ada garis takdir yang memang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta kita.

Oleh karena itu kita dianjurkan untuk senantiasa berdoa. Berserah diri kepada Sang Mahakuasa. Yang patut diingat, semua peristiwa pasti memiliki hikmah dan pelajaran berharga bagi manusia. Kuncinya terletak pada dua kata, sabar dan syukur. Sejauh mana kita bersabar menjalani periode sulit dan sejauh mana kita mampu bersyukur atas segala nikmat yang kita miliki.

Pada akhirnya bukan peramal magis dan bukan pula penelitis sains yang bisa mengupayakan akhir dari pandemi. Tapi diri kita masing-masinglah yang paling berperan untuk itu. Kita yang lebih bisa menentukan akhir pandemi ketimbang mereka.

Salam hangat,
Agil S Habib 

Refferensi:
[1]; [2]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun