Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Andai Presidennya Prabowo, seperti Apakah Penanganan Covid-19 Berjalan?

21 April 2020   07:47 Diperbarui: 27 April 2020   15:10 31809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo Subianto | Sumber gambar: kompas.com

Sudah beberapa waktu berlalu sejak pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Kini jumlah korbannya sudah meningkat demikian pesat dibandingkan saat pertama kali pemerintah mengumumkan kasus positif voris corona menjangkiti warga Indonesia. 

Bermacam-macam cara ditempuh demi memutus mata rantai persebaran seraya berharap angka kesembuhan terus meningkat dan vaksin antivirus bisa segera ditemukan. 

Seluruh jajaran pemerintah turut dilibatkan untuk menangani pandemi terburuk dalam beberapa puluh tahun terakhir. Tapi apadaya kondisinya masih tidak jauh berbeda dibanding sebelumnya. 

Sehingga membuat sebagian pihak merasa bahwa kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum maksimal dalam menyikapi kondisi ini. 

Kritik yang diberikan oleh mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa waktu lalu adalah sedikit diantara sekian ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 di Indonesia.

Salah seorang politisi Partai Demokrat yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Pemenangan Pemilu partai berlogo bintang mercy, Andi Arief, beberapa waktu lalu sempat memberikan pernyataan terkait perlunya Prabowo Subianto berada dalam barisan depan pemerintah dalam menanggulangi COVID-19. 

Menurutnya, COVID-19 sudah sangat mengancam keamanan negara sehingga yang harus menanggulangi kondisi ini harusnya ia yang menahkodai bidang pertahanan. Yaitu Prabowo. 

Seakan menerawang kembali ke masa sebelum beliau menjadi Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo memang merupakan kandidat Presiden Republik Indonesia sebelum akhirnya Jokowi mengunggulinya. 

Seandainya kala itu Prabowo yang terpilih untuk memegang mandat jabatan presiden, mungkin situasinya akan sangat berbeda dibanding sekarang. 

Presiden selaku pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi sedikit banyak akan mempengaruhi ritme kinerja pemerintah secara keseluruhan. Lantas kira-kira apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi pandemi COVID-19 ini jikalau Prabowo presidennya?

Membangun Sinergi Internasional Penanganan Pandemi

Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan salah satu sosok presiden berlatar belakang militer dengan kemampuannya berstrategi yang cukup mumpuni. 

Mungkin kita bisa sedikit berkaca dengan cara pak SBY memimpin khususnya menerka seperti apa cara kerja Prabowo andai ia menjadi Presiden. 

SBY sempat melontarkan kritik kepada pemerintah terkait langkah penanggulangan COVID-19 yang saat ini terjadi. Menurut SBY, negara-negara di dunia saat ini secara global tidak menjalin sebuah sinergi dalam menangani COVID-19. Hampir setiap negara bertindak sendiri-sendiri, termasuk Indonesia. 

Padahal COVID-19 menyebar seiring adanya interaksi antar manusia di seluruh dunia. Seharusnya Indonesia mampu mengambil peranan yang lebih terkait kondisi ini. Tampil ke hadapan dunia internasional sebagai penyeru dan mengajak negara lain untuk menyatukan langkah memberantas pandemi.

Dalam beberapa kesempatan ternyata prabowo sudah menjalin komunikasi dengan beberapa negara khususnya Menhan dari negara lain seperti Amerika Serikat (AS), China, serta yang lainnya. 

Bantuan Alat Pelindung Diri (APD) yang beberapa waktu lalu didatangkan menggunakan pesawat militer dari China ke Indonesia merupakan buah kerja keras sang jenderal terkait hal ini. 

Bukan tidak mungkin jikalau Prabowo yang menjadi presiden maka dunia internasional akan memiliki sosok yang menjadi inisiator yang mengajak serta semua negara-negara di dunia untuk bahu-membahu menuntaskan pandemi ini. 

Sebagaimana kita tahu, belakangan ini AS dan China kembali memanas tensi hubungannya terkait tudingan masing-masing pihak yang menyebut satu sama lain sebagai dalang dari lahirnya bencana ini. 

Tidak ketinggalan, Jerman juga turut mempersalahkan China sebagai biang kerok pandemi COVID-19. Mereka bahkan meminta ganti rugi sekitar 130 miliar poundsterling kepada China sebagai kompensasi atas bobroknya situasi ekonomi di Jerman selama masa pandemi. 

Dunia kini saling mempersalahkan. Padahal untuk memberantas COVID-19 yang kita butuhkan adalah sinergi internasional seperti kata SBY.

Kerja Sama dengan Anies Baswedan akan Lebih Harmonis

Sudah menjadi rahasia umum kalau penanganan pandemi COVID-19 khususnya di wilayah DKI Jakarta seringkali terjadi pertentangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. 

Kebijakan penanganan COVID-19 yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan beberapa kali justru dimentalkan oleh pemerintah pusat berikut jajarannya. 

Anies sempat ngotot agar DKI Jakarta melakukan lockdown, tapi dengan tegas pemerintah pusat menyatakan bahwa itu adalah kewenangan mereka. 

Terkait pembatasan transportasi publik pun sikap diantara kedua belah pihak juga bertentangan. Anies ingin KRL dihentikan operasinya, tapi pemerintah pusat menyatakan sebaliknya. 

Bahkan pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta harus melalui jalan panjang sebelum akhirnya disetujui pemerintah pusat.

Sebenarnya bukan hanya menyangkut penanganan pandemi COVID-19 saja pemerntah pusat dan pemerintah daerah DKI Jakarta memiliki sikap yang bertentangan. 

Soal normalisasi sungai, soal rute LRT, revitalisasi monas, hingga formula E semuanya menunjukkan kurang harmonisnya hubungan kedua belah pihak. 

Seakan tidak ada sinergi yang harmonis antara presiden dan jajarannya dengan gubernur DKI Jakarta. Sesuatu yang barangkali tidak akan terjadi jikalau Prabowo Presidennya. Apalagi mengingat Anies Baswedan tampil sebagai Gubernur DKI Jakarta terpilih juga berkat jasa Prabowo. 

Prabowo adalah seorang yang mengusulkan Anies untuk tampil sebagai penantang incumbent kala itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang berpasangan dengan salah satu kader terbaik partai besutan Prabowo, Sandiaga Uno. Bisa dikatakan Anies merupakan hasil kejelian Prabowo dalam memilih sosok calon pemimpin masa depan.

Anies dan Prabowo mungkin akan memiliki banyak kesamaan pandangan dalam penanganan pandemi COVID-19 apabila keduanya saling bekerja sama. 

Penganuliran kebijakan pemerintah daerah oleh pemerintah pusat barangkali tidak akan terlihat mencolok seperti sekarang. Seakan ada beda kepentingan yang menjadi sekat pemisah diantara keduanya.

Indonesia Lakukan Lockdown

Pemerintah pusat sudah berulang kali menyatakan bahwa lockdown tidak akan menjadi opsi yang dipilih dalam menangani pandemi COVID-19. Jangankan menjadikannya opsi, terpikir saja tidak. 

Pada akhirnya pemerintah pun memang tidak pernah menerapkan kebijakan lockdown. Hanya PSBB yang lebih longgar dalam aturan interaksi sosial. Sebatas social distancing tapi aktivitas sebagian besar masih berjalan secara normal.

Situasi mungkin akan berbeda andai Prabowo yang menjadi Presiden. Dalam  sebuah pernyataan yang diutarakan oleh ajudan sang Menhan, Dhani Wirianata, lockdown dinilai oleh Prabowo sebagai opsi terbaik dalam menanggulangi pandemi COVID-19. 

Meskipun tidak secara langsung menyampaikan pandangan ini, paling tidak Prabowo memiliki strategi yang berbeda dengan yang diyakini oleh bapak presiden. 

Ketika presiden memutuskan PSBB sebagai opsi terbaik, Prabowo beranggapan bahwa lockdown-lah yang semestinya diambil. Akan tetapi sebagai "anak buah" yang baik dan menghargai keputusan atasan maka Prabowo pun tidak lantas menampilkan pandangannya itu ke hadapan publik. 

Bagaimanapun juga pemimpin tertinggi sudah memutuskan sikapnya dalam menanggulangi pandemi. Dengan segala pertimbangan tentunya.

Strategi ala Prabowo

Antara Jokowi dan Prabowo jelas memiliki perbedaan latar belakang yang jauh berbeda diantara keduanya. Yang satu sipil, dan yang satu militer. Yang satu berlatar pendidikan teknik, yang satunya lagi jurusan strategi militer. Yang satu alumnus universitas, yang satunya lagi jebolan akdemi militer. 

Yang satu seorang pengusaha yang beralih ke politik, yang satunya lagi pensiunan jenderal militer yang terjun ke politik. Berbeda. Sehingga gaya kepemimpinan keduanya pun tampak jelas berbeda.

Dalam periode pemerintahannya yang kedua ini, Presiden Jokowi tampak menyertakan beberapa jenderal purnawirawan TNI kedalam barisannya. 

Tidak jauh berbeda sebenarnya dengan periode sebelumnya. Luhut, Fachrul Razi, hingga Prabowo adalah barisan para jenderal yang dinilai perlu untuk membantu kinerja pemerintah. 

Bukan tidak mungkin sebenarnya presiden lebih terkesan sebagai pengambil keputusan akhir dengan pertimbangan beliau yang berlatar belakang warga sipil. 

Pemikirannya mungkin akan berbeda, pendekatannya kebijakannya pun bisa jadi berbeda jikalau Prabowo yang berada di posisi Jokowi. Prabowo yang seorang ahli strategi tentu tidak hanya mengandalkan pemikiran anak buahnya saja dalam menghitung kebijakannya. Mirip seperti SBY yang terkenal dengan pemikirannya yang mendalam.

Akan sangat berbeda tatkala seseorang memutuskan suatu kebijakan dengan memiliki latar belakang pendidikan strategi seperti halnya Prabowo dibandingkan Presiden Jokowi yang berbeda secara kultural. 

Meski belum ada jaminan bahwa strategi Prabowo akan lebih baik ketimbang strategi Jokowi, paling tidak pendekatan saat pengambilan keputusan akan tampak berbeda.

Tapi saat ini kita harus menerima kenyataan bahwa presiden kita adalah Jokowi, bukan Prabowo. Apapun yang semestinya baik untuk dilakukan jikalau Prabowo adalah presidennya, hal itu hendaknya bisa diutarakan kepada bapak presiden. 

Meski kemungkinannya hanya 50% bahwa usulan itu diterima, paling tidak hal itu akan memberikan dimensi pemikiran lain kepada presiden untuk mengambil keputusan yang lebih efektif kedepannya. 

Bagaimanapun juga pandemi COVID-19 membutuhkan adanya sinergi dari semua kalangan. Pemerintah yang dikritik tidak maksimal menangani pandemi mestinya bisa mawas diri. Bukan arogan terhadap kekuasaannya. 

Justru kritikan itu menunjukkan bahwa ada celah kebijakan yang mesti dievaluasi lagi agar bisa memberikan hasil yang jauh lebih baik. Jangan sampai menunggu korban makin banyak berjatuhan baru pemerintah menyadari ada yang salah dengan langkahnya. 

COVID-19 adalah masalah kita bersama. Seperti kata Prabowo, gotong royong diperlukan untuk menuntaskan pandemi ini bersama-sama.

Salam hangat,
Agil S Habib
Refferensi: [1]; [2]; [3]; [4]; [5]; [6]; [7]; [8]; [9]; [10]; [11]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun